Senin, 07 September 2009

*MEMBAKAR BUKU, CERMIN JIWA KERDIL -- MISKIN PEMIKIRAN *..(temu_eropa@yahoogroups.com)

*MEMBAKAR BUKU, CERMIN JIWA KERDIL -- MISKIN PEMIKIRAN *


Di abad ke-21 ini. --- Sesudah 10 tahun formalnya periode Orba dikubur,
masih saja terjadi hal-hal yang pada periode Orde Baru adalah 'biasa'
dan 'wajar'. Belum lama terjadi lagi pembakaran buku-buku. Sebagai
pelengkap dari unjuk rasa, untuk menekan media. Rupanya 'warisan' Orba,
selain KKN, masih ada lainnya. Masih bisa muncul seorang profesor
bernama AMINUDDIN KASDI. Ia dengan gaya preman membela Orang-orang dari
FPI dan organisasi anti-Komunis lainnya, membakar buku-buku SUMARSONO,
tentang Revolusi Agustus.


Sang profesor, Aminudin Kasdi, menganggap yang ia namakan 'sejarah',
penulisan peristiwa lalu, adalah yang ia sendiri anggap benar. Sebagai
pemegang monopolis tunggal, ia sendirilah kebenaran sejarah. Aminuddin
Kasdi menghalalkan pembakaran buku-buku Sumarsono mengenai pengalamannya
sekitar Revolusi Agustus. Sang profesor tsb membenarkan dan mendukung
penuh organisasi-organisasi anti-Komunis tsb menekan, memaksa, mengancam
dan menteror para pengelola media, agar tidak menulis, menyiarkan yang
tidak sesuai dengan pandangan dan politik mereka.


* * *


Hari ini bisa dibaca di 'Facebook' sebuah artikel oleh ZEN /RS, jebolan
jurusan sejarah di Kampus UNY Karangmalang Jogja. /Sekalian
dipublikasikan beberapa komentar dan tanggapan. Silakan membacanya!
Tulisan Zen RS, menunjukkan 'cendekiawan sejarawan' godokan rezim
Presiden Suharto itu, . . . . kerdil pemikirannya, miskin jiwanya!


* * *


*Surat Terbuka Untuk PROF AMINUDDIN KASDI*

*< Senin, 07 September 2009>* *
*
/Oleh Zen RS/
Sungguh saya tidak habis pikir seorang guru besar sejarah seperti
Sampeyan bisa-bisanya ngomong begini: “Sejarah memang versinya yang
menang. Lha, gimana, kalah kok /njaluk/ sejarah!”

Prof. Aminuddin Kasdi, sampeyan pasti tahu itu parafrase yang sudah
nyaris menjadi klise, sekaligus sindiran yang tajam pada narasi sejarah
yang dianggap selalu memberi porsi besar pada para “pemenang” dan
mengabaikan para “pecundang”, tak peduli ia punya peranan besar atau
kecil sekali pun.

Mestinya, mahasiswa sejarah, para pengajar sejarah, apalagi para guru
besar sejarah macam Sampeyan, merasa malu dan tersindir dengan parafrase
itu. Sebab, jika parafrase itu diterima dan dilanggengkan,itu sama saja
mengatakan: “Lha emangnye sejarawan ngumpet semua di ketiak penguasa
semua? Sampeyan juga dong, ya?”

Jika memang sejarah hanya untuk para pemenang, ngapain lagi belajar
sejarah, mempelajari filsafat sejarah, metode dan metodologi sejarah?

Jika sejarah hanya memberi tempat pada para pemenang yang berhasil
memenangkan satu “kompetisi” panjang merebut kekuasaan, ngapain lagi
masih ada Departemen Sejarah di perguruan tinggi? Ngapain pula Sampeyan
ngajar sejarah di kampus? Ngapain pula Sampeyan masih jadi guru besar
sejarah?

Jika demikian, tak usahlah melakukan penelitian tentang DI/TII,
PRRI/PERMESTA, atau RMS. Tak usah pula susah-susah menulis tentang
Kartosuwirjo, Aidit, Njoto, Soumakil, Sjafruddin Prawiranegara, Soetan
Sjahrir, atau Tan Malaka. Tak usah pula Anda menulis buku tentang BTI
yang mengkampanyekan land reform?

Jika benar bahwa para pecundang dalam sejarah tak usah diberi tempat
dalam historiografi, maka saya sarankan Sampeyan juga membakar semua
buku-buku tentang PKI, semua-mua buku tentang DI/TII, segala-gala buku
tentang PRRI/Permesta.

Eits, tapi nanti dulu. Tapi kenapa Sampeyan hanya mengamini dan
membiarkan pembakaran buku Revolusi Agustus karya Soemarsono? Apa karena
Soemarsono seorang komunis?
Oooo, jika begitu, saya paham apa yang Sampeyan maksudkan. Sampeyan
maksudnya ingin omong: Para pecundang memang tak berhak meminta sejarah,
tapi tak semua harus dibakar, cukup buku-buku PKI saja yang dibakar,
bukan? Karena mereka komunis, bukan?
Prof., sejarah di negeri ini memang penuh dengan bau yang tak sedap.
Tidak mudah, memang, mengakui hal itu. Apalagi jika kebenaran sejarah
itu ternyata tidak sesuai seperti yang Sampeyan bayangkan, tidak senada
dengan yang Sampeyan harapkan.

Seorang fans berat Soekarno pasti akan merasa tak enak hati jika
teringat Soekarno yang inspiratif itu pun pernah berlaku lancing
memenjarakan lawan-lawan politiknya [Sjahrir, Natsir, Kasman
Singodimedjo sampai Mochtar Loebis] tanpa pengadilan dan membubarkan
partai-partai yang berlawanan pandangan politik dirinya [PSI dan Masjumi].

Seorang pengagum Pramoedya, sastrawan yang karya-karyanya penuh dengan
pembelaan terhadap kemanusiaan, pasti akan sedikit perih jika ingat
bahwa Pram pernah berkata: “Kenapa buku-buku semacam ini [novel Dokter
Zhivago karya Boris Pasternak] masih juga bisa ditemukan di pinggir jalan?”

Seorang anak muda dari lingkungan NU yang tercerahkan pasti akan perih
hatinya menyadari banyak santri dan kyai yang mengamini dan bahkan
melakukan pembunuhan massal pada orang-orang yang dianggap terlibat
dengan PKI.

Seorang terpelajar Indonesia akan sedih mengetahui bahwa tentara dari
negeri yang sangat ia cintai pernah berlaku lancung dan ganas di Aceh,
Timor Timur dan Papua.

Seorang yang anti-PKI pasti akan susah untuk mengakui bahwa partai
inilah yang pertama kali menggunakan nama Indonesia sebagai nama
partainya. Seorang yang anti-PKI pasti akan kesulitan mengakui bahwa di
saat partai dan organ-organ pergerakan lain memilih jalan moderat,
justru PKI-lah partai dan organ pergerakan pertama yang terang-terangan
berani angkat senjata pada pemerintah colonial Hindia-Belanda.

Jika Sampeyan seorang politisi atawa seorang ideolog, saya bisa mafhum
jika Sampeyan hanya akan mengungkapkan apa yang dirasa penting dan
sesuai dengan visi politik dan ideologi yang dianut. Tapi Sampeyan
seorang akademisi, guru besar pula.

Baiklah, sekali lagi, baiklah, saya mencoba mafhum dan sekuatnya mencoba
paham. Orang memang boleh punya pandangan politik, juga berhak menganut
ideologi. Itu juga berlaku pada seorang akademisi, seorang sejarawan,
bahkan seorang guru besar.

Tapi, sungguh, saya tak bisa paham kenapa Sampeyan ikut-ikutan
membiarkan orang-orang yang membakar buku Revolusi Agustus karya
Soemarsono? Saya sukar untuk paham kenapa bisa seorang guru besar
mendukung aksi vandalisme? Kenapa bisa Anda hadir di kerumunan para
pembakar buku dan sempat pula dikabarkan memberi orasi di sana dan
seakan menjadi juru bicara para pembakar buku saat berdialog dengan
redaksi Jawa Pos?
Untuk soal bakar-bakaran buku itu, maaf saja Prof. Aminuddin Kasdi,
sampeyan sudah kelewatan.

Sejak hari pembakaran buku itu, Sampeyan tak punya lagi otoritas moral
untuk menyerukan mahasiswa membaca buku, karena bagaimana bisa kita
dengar seorang yang mendiamkan dan menyetujui pembakaran buku malah
menganjurkan mahasiswanya membaca? Sampeyan lebih pantas menganjurkan
mahasiswanya membakar buku, daripada membaca buku.
Sejarah mungkin milik para pemenang, seperti yang Sampeyan katakan.
Tapi, sejarah [google dan mesin pencari di internet] telah mencatatkan
Aminuddin Kasdi sebagai salah seorang profesor penyokong pembakaran
buku. Anak cucu Anda, Profesor, akan mengetahui hal ini, kelak!

Ataukah gelar *Prof[esor]* di depan nama sempeyan itu perlu diganti
menjadi *Prov[okator]?* Baiklah kalau begitu. Tampaknya Sampeyan lebih
gagah jika menyandang nama Prov. Aminuddin Kasdi!/* Zen RS, jebolan
jurusan sejarah di Kampus UNY Karangmalang Jogja. Tinggal di Jakarta./


* * *


KOMENTAR DAN TANGGAPAN:

Iskandar Siahaan

Saya bukan sejarawan, jadi tak tahu siapa itu Aminuddin Kasdi. Adakah
yang bisa memberi keterangan dia belajar dan mengajar di mana sampai
dapat gelar profesor itu? Saya sangat berharap dia membaca tulisan di
atas dan bersedia mendiskusikannya. Kita ingin tahu apa di balik pikiran
sang profesor sehingga dia rela ikut berorasi dalam sebuah peristiwa...
Lees Meer pembakaran buku. Saya tidak merasakan suasana menjelang
peristiwa G30S, ketika PKI dan Bung Karno demikiran berkuasa. Dari
bacaan sejarah saya yang terbatas, konon ketika itu juga terjadi
pembakaran buku oleh orang-orang atau simpatisan PKI. Jangan-jangan yang
ada dalam pikiran sang profesor, andai PKI menang dan sekarang berkuasa,
mereka juga akan membakar buku. Tapi akal sehat kita akan menentang
pembakaran itu seperti sekarang juga kita menentang pembakaran buku yang
dihadiri sang profesor! Lawanlah narasi dengan narasi, bukan dengan
tangan besi.

Lukmono Suryo Nagoro


Mgkn aja gelar prof yg menganugerahi FPI..jd kerjaannya yg cm
bakar,ngerusak,pokoknya yg anarki2...hehehe

Antonius Made Tony Supriatma


Kasbi itu tergabung dalam Forum Silaturrahmi Mengawal NKRI dan Pancasila
dari Ancaman Neo-Komunisme. Tokoh lain organisasi ini KH Ir Solahuddin
Wahid (Gus Solah, pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang), Prof Dr
Aminuddin Kasdi (Masyarakat Sejahrawan Indonesia/MSI Jatim), Prof Dr Edi
Sri Swasono (ekonom), Taufik Ismail (budayawan), Mayjen TNI (Purn)
Sutoyo NK (mantan Dirjen Sospol Depdagri), dan KH Abdussshomad Bukhori
(Ketua MUI Jatim).

Antonius Made Tony Supriatma


Kasbi itu tergabung dalam Forum Silaturrahmi Mengawal NKRI dan
Pancasila dari Ancaman Neo-Komunisme. Tokoh lain organisasi ini KH Ir
Solahuddin Wahid (Gus Solah, pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang),
Prof Dr Aminuddin Kasdi (Masyarakat Sejahrawan Indonesia/MSI Jatim),
Prof Dr Edi Sri Swasono (ekonom), Taufik Ismail (budayawan), Mayjen TNI
(Purn) Sutoyo NK (mantan Dirjen Sospol Depdagri), dan KH Abdussshomad
Bukhori (Ketua MUI Jatim).

Coen Husain Pontoh

Gus Solah harusnya segera keluar dari Forum itu, biar nama NU nggak
keikut-ikut ama anasir-anasir Islam kanan ama tentara ini

-'Riane Elean'-

Sinisme: "terpujilah wahai engkau yg -sambil menganggap dirimu pahlawan-
dengan sengaja memancung fakta sejarah dan menstigmatisasi bangsa ini
dengan sejarah palsu apapun alasannya. Sadarkah engkau bahwa engkau
sementara memancung dan menisbikan eksistensimu dan eksistensiku ?
Hebat, terpujilah engkau."

M.f. Mukthi

FPI=Front Penghianat Islam. Jelas2 dlm Islam yg pertama diperintahkan
adalah membaca. Bagaimana mau membaca kalau bahan bacaannya dibakar?

Bodrek Arsana

Kalo gak salah pernah lihat Pakde Kasdi ini dalam sebuah seminar...gaya
bicaranya kayak Taufik Ismail atawa Ridwan Saidi..merasa selalu benar
dan selalu marah..dengan intonasi yg keras...ciri-ciri orang tekanan
darah tinggi...kalo ngomong mirip atasan yg otoriter memberi perintah
pada bawahan yg hopeless...tapi ya itulah apalagi ada gelar Prof.
didepannya...

Nana Lystiani

sebagai editor buku, pecinta buku, dan kolektor buku, sedih banget bila
melihat pembakaran buku. betul-betul vandalist, ga beradab. kalau tidak
setuju dengan jalan pemikiran si penulis, bantahlah dengan tulisan juga
donk, jangan bakar bukunya, apapun alasannya. bagaimana mau menumbuhkan
minat baca-tulis di Indonesia, bila media-nya bisa dibakar oleh orang
yang ga sepaham dengan apa yang tertulis di buku itu.

Ira Bifurkasi

Satu lagi otoritarianisme dari warga masyarakat tak beradab..yang
sayangnya justru menempati episentrum struktur masyarakat bangsa ini.

_Arifadi Budiarjo_

Sungguh memprihatinkan...memang gelar akademis tidak selalu selaras
dengan kualitas intelektualitas seseorang..

F.budi Sanyoto

ini profesore sebenere yang pecundang. tercatat mulai sekarang, profesor
ini sbg aktor penting dalam sejarah pembakaran buku.

Tatang Jatmiko

Bhw sejarah adlh salah satu alat untk melihat perjalanan bangsa terlepas
dari penělaian baik-buruk sejarah itu sendiri, sejarah adalah salah satu
alat untk menemukan karakter bangsa,
bila sejarah telah dimusnahkan, apalagi seorang guru besar terlibat
dalam pemusnahannya, maka saya turut serta mempertanyakan kembali gelar
guru besarnya?

Budi Wardoyo

Pasca Reformasi sudah terlalu banyak pelarangan buku, pembakaran buku
dan pelarangan/pembubaran kegiatan2 yang dianggap sebagai kegiatan kaum
sosialis kerakyatan ( belum lagi pembantaian massal 65 dan selama Orde
Baru berkuasa)
Rezim Orde Baru hingga Rezim hari ini, memang tak menghendaki lahir dan
berkembangnya kekuatan politik demokratik (... Lees Meerapalagi
demokatik sosialis)
Sejatinya ini adalah pertarungan politik antara kubu reaksioner versus
kaum demokartik+sosialis, dengan demikian solusinya adalah solusi
politik, yaitu pergantian kekuasaan dari tangan kaum reaksioner ke
tangan kaum demokratik dan sosialis...

Setyo Arie Kusmawan

Prof. Yang tdk pernah menghargai karya2 orang lain, prof. orang terdidik
jd orang picik..prof. Kao lebih biadab dari pada teroris...


* * *


"Surat Terbuka untuk Prov. Aminuddin Kasdip , adalah 'gebrakan',
'jebolan', boleh juga dibilang 'tonjokan' bagus sekali, terhadap fikiran
yang 'mind-set', dari 'sarjana', (atau 'sejarawan'), hasil godokan Orba.
Bagus, bagus, Bung Zen. Perjuangan menegakkan pandangan dan sikap yang
benar-benar sejarawaniah, cendekiawaniah , akan panjang. Maju terus
pantang mundur!!!


* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar