Minggu, 13 September 2009

Orde Yang Suka Darah

Bahan renungan ini juga disajikan di website http://umarsaid.free.fr/

Data-Data Kasus Pelanggaran HAM
Semasa Orde Baru
(bahan renungan ke-4 untuk memperingati 44 tahun 30 September 1965)

Mohon sama-sama kita renungkan,apakah kiranya dalam sejarah bangsa
Indonesia sampai kini ada pemerintahan atau kekuasaan yang sudah begitu
banyak, begitu lama dan juga begitu luas melakukan berbagai macam
kejahatan kemanusiaan, perusakan moral, penyalahgunaan kekuasaan untuk KKN,
seperti yang dilakukan selama 32 tahun oleh rejim militer Orde Barunya
Suharto ? Tidak !
Mudah-mudahan, sepanjang perjalanan sejarah bangsa Indonesia di kemudian
hari pun tidak akan ada lagi pemerintahan yang begitu banyak dosanya
terhadap rakyat banyak. Pemerintahan rejim militer Suharto adalah masa
panjang kediktatoran militer yang gelap bagi kehidupan demokrasi dan
kehidupan normal bagi sebagian terbesar dari rakyat kita, yang tidak boleh
terulang lagi
Oleh karena itu, adalah kewajiban kita semua untuk selalu -- atau sesering
mungkin -- mengingatkan sebanyak mungkin orang kepada masa-masa yang telah
mendatangkan kesengsaraan dan kerusakan bagi rakyat dan negara kita ini.
Ulangtahun ke-44 peristiwa 30 September 1965 adalah kesempatan yang ideal
untuk bersama-sama mengingat kembali kejahatan pimpinan militer di bawah
Suharto yang mengkhianati pemimpin besar revolusi rakyat Indonesia, Bung
Karno, dan menghacurkan kekuatan kiri pendukungnya, termasuk golongan PKI.
Kebetulan sekali, Munas Golkar yang akan diadakan secara besar-besaran di
Riau di bulan Oktober juga bisa merupakan peristiwa penting untuk memblejedi
apakah itu sebenarnya Golkar, yang bersama-sama golongan militer di bawah
Suharto sudah membikin berbagai kejahatan dan pengrusakan yang
menyengsarakan begitu banyak orang dan selama puluhan tahun pula.
Dalam rangka ini jugalah maka dibawah berikut ini disajikan catatan pribadi
seorang (yang menamakan dirinya Ithum), yang secara pokok-pokok atau serba
singkat dan dengan baik sekali menyusun data-data tentang berbagai
kejahatan dan pelanggaran HAM di Indonesia selama pemerintahan Orde Baru.
Data-data tersebut bisa membantu kita semua untuk mengingat kembali berbagai
peristiwa-peristiwa tersebut, dan memudahkan kita untuk melengkapinya lebih
lanjut dengan bahan-bahan lainnya.
A. Umar Said
Paris, 11 September 2009
== == == ==

Data-Data Kasus Pelanggaran HAM Semasa Orde Baru
Oleh Ithum , 28 Februari 2008
Sebuah bahan refleksi bagi diriku pribadi, melihat perjalanan bangsa yang
penuh luka dan darah. Catatan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi pada
tahun 1965 dan masa pemerintahan orde baru yang ada dalam catatanku. Masih
ada pelanggaran-pelanggaran HAM yang belum tercatat di sini, semoga cukup
waktu untuk melengkapinya.

1965

a.. Penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh Jendral Angkatan Darat.
b.. Penangkapan, penahanan dan pembantaian massa pendukung dan mereka yang
diduga sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia . Aparat keamanan terlibat
aktif maupun pasif dalam kejadian ini.
1966

a.. Penahanan dan pembunuhan tanpa pengadilan terhadap PKI terus
berlangsung, banyak yang tidak terurus secara layak di penjara, termasuk
mengalami siksaan dan intimidasi di penjara.
b.. Dr Soumokil, mantan pemimpin Republik Maluku Selatan dieksekusi pada
bulan Desember.
c.. Sekolah- sekolah Cina di Indonesia ditutup pada bulan Desember.
1967

a.. Koran-koran berbahasa Cina ditutup oleh pemerintah.
b.. April, gereja- gereja diserang di Aceh, berbarengan dengan demonstrasi
anti Cina di Jakarta .
c.. Kerusuhan anti Kristen di Ujung Pandang.
1969

a.. Tempat Pemanfaatan Pulau Buru dibuka, ribuan tahanan yang tidak
diadili dikirim ke sana .
b.. Operasi Trisula dilancarkan di Blitar Selatan.
c.. Tidak menyeluruhnya proses referendum yang diadakan di Irian Barat,
sehingga hasil akhir jajak pendapat yang mengatakan ingin bergabung dengan
Indonesia belum mewakili suara seluruh rakyat Papua.
d.. Dikembangkannya peraturan- peraturan yang membatasi dan mengawasi
aktivitas politik, partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Di sisi
lain, Golkar disebut- sebut bukan termasuk partai politik.
1970

a.. Pelarangan demo mahasiswa.
b.. Peraturan bahwa Korpri harus loyal kepada Golkar.
c.. Sukarno meninggal dalam ‘tahanan’ Orde Baru.
d.. Larangan penyebaran ajaran Bung Karno.
1971

a.. Usaha peleburan partai- partai.
b.. Intimidasi calon pemilih di Pemilu ’71 serta kampanye berat sebelah
dari Golkar.
c.. Pembangunan Taman Mini yang disertai penggusuran tanah tanpa ganti
rugi yang layak.
d.. Pemerkosaan Sum Kuning, penjual jamu di Yogyakarta oleh pemuda- pemuda
yang di duga masih ada hubungan darah dengan Sultan Paku Alam, dimana yang
kemudian diadili adalah Sum Kuning sendiri. Akhirnya Sum Kuning dibebaskan.
1972

a.. Kasus sengketa tanah di Gunung Balak dan Lampung.
1973

a.. Kerusuhan anti Cina meletus di Bandung .
1974

a.. Penahanan sejumlah mahasiswa dan masyarakat akibat demo anti Jepang
yang meluas di Jakarta yang disertai oleh pembakaran- pembakaran pada
peristiwa Malari. Sebelas pendemo terbunuh.
b.. Pembredelan beberapa koran dan majalah, antara lain ‘Indonesia Raya’
pimpinan Muchtar Lubis.
1975

a.. Invansi tentara Indonesia ke Timor- Timur.
b.. Kasus Balibo, terbunuhnya lima wartawan asing secara misterius.
1977

a.. Tuduhan subversi terhadap Suwito.
b.. Kasus tanah Siria- ria.
c.. Kasus Wasdri, seorang pengangkat barang di pasar, membawakan barang
milik seorang hakim perempuan. Namun ia ditahan polisi karena meminta
tambahan atas bayaran yang kurang dari si hakim.
d.. Kasus subversi komando Jihad.
1978

a.. Pelarangan penggunaan karakter-karakter huruf Cina di setiap barang/
media cetak di Indonesia.
b.. Pembungkaman gerakan mahasiswa yang menuntut koreksi atas berjalannya
pemerintahan, beberapa mahasiswa ditahan, antara lain Heri Ahmadi.
c.. Pembredelan tujuh suratkabar, antara lain Kompas, yang memberitakan
peritiwa di atas.
1980

a.. Kerusuhan anti Cina di Solo selama tiga hari. Kekerasan menyebar ke
Semarang , Pekalongan dan Kudus.
b.. Penekanan terhadap para penandatangan Petisi 50. Bisnis dan kehidupan
mereka dipersulit, dilarang ke luar negeri.
1981

a.. Kasus Woyla, pembajakan pesawat garuda Indonesia oleh muslim radikal
di Bangkok. Tujuh orang terbunuh dalam peristiwa ini.
1982

a.. Kasus Tanah Rawa Bilal.
b.. Kasus Tanah Borobudur . Pengembangan obyek wisata Borobudur di Jawa
Tengah memerlukan pembebasan tanah di sekitarnya. Namun penduduk tidak
mendapat ganti rugi yang memadai.
c.. Majalah Tempo dibredel selama dua bulan karena memberitakan insiden
terbunuhnya tujuh orang pada peristiwa kampanye pemilu di Jakarta . Kampanye
massa Golkar diserang oleh massa PPP, dimana militer turun tangan sehingga
jatuh korban jiwa tadi.
1983

a.. Orang- orang sipil bertato yang diduga penjahat kambuhan ditemukan
tertembak secara misterius di muka umum.
b.. Pelanggaran gencatan senjata di Tim- tim oleh ABRI.
1984

a.. Berlanjutnya Pembunuhan Misterius di Indonesia.
b.. Peristiwa pembantaian di Tanjung Priuk terjadi.
c.. Tuduhan subversi terhadap Dharsono.
d.. Pengeboman beberapa gereja di Jawa Timur
1985

a.. Pengadilan terhadap aktivis-aktivis islam terjadi di berbagai tempat
di pulau Jawa.
1986

a.. Pembunuhan terhadap peragawati Dietje di Kalibata. Pembunuhan diduga
dilakukan oleh mereka yang memiliki akses senjata api dan berbau konspirasi
kalangan elit.
b.. Pengusiran, perampasan dan pemusnahan Becak dari Jakarta.
c.. Kasus subversi terhadap Sanusi.
d.. Ekskusi beberapa tahanan G30S/ PKI.
1989

a.. Kasus tanah Kedung Ombo.
b.. Kasus tanah Cimacan, pembuatan lapangan golf.
c.. Kasus tanah Kemayoran.
d.. Kasus tanah Lampung, 100 orang tewas oleh ABRI. Peritiwa ini dikenal
dengan dengan peristiwa Talang sari.
e.. Bentrokan antara aktivis islam dan aparat di Bima.
f.. Badan Sensor Nasional dibentuk terhadap publikasi dan penerbitan buku.
Anggotanya terdiri beberapa dari unsur intelijen dan ABRI.
1991

a.. Pembantaian di pemakaman Santa Cruz, Dili terjadi oleh ABRI terhadap
pemuda-pemuda Timor yang mengikuti prosesi pemakaman rekannya. 200 orang
meninggal.
1992

a.. Keluar Keppres tentang Monopoli perdagangan cengkeh oleh
perusahaan-nya Tommy Suharto.
b.. Penangkapan Xanana Gusmao.
1993

a.. Pembunuhan terhadap seorang aktifis buruh perempuan, Marsinah. Tanggal
8 Mei 1993
1994

a.. Tempo, Editor dan Detik dibredel, diduga sehubungan dengan
pemberita-an kapal perang bekas oleh Habibie.
1995

a.. Kasus Tanah Koja.
b.. Kerusuhan di Flores.
1996

a.. Kerusuhan anti Kristen diTasikmalaya. Peristiwa ini dikenal dengan
Kerusuhan Tasikmalaya. Peristiwa ini terjadi pada 26 Desember 19962. Kasus
tanah Balongan.
b.. Sengketa antara penduduk setempat dengan pabrik kertas Muara Enim
mengenai pencemaran lingkungan.
- Sengketa tanah Manis Mata.
c.. Kasus waduk Nipah di madura, dimana korban jatuh karena ditembak
aparat ketika mereka memprotes penggusuran tanah mereka.
d.. Kasus penahanan dengan tuduhan subversi terhadap Sri Bintang
Pamung-kas berkaitan dengan demo di Dresden terhadap pak Harto yang
berkun-jung di sana.
e.. Kerusuhan Situbondo, puluhan Gereja dibakar.
f.. Penyerangan dan pembunuhan terhadap pendukung PDI pro Megawati pada
tanggal 27 Juli.
g.. Kerusuhan Sambas–Sangualedo. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30
Desember 1996.
1997

a.. Kasus tanah Kemayoran.
b.. Kasus pembantaian mereka yang diduga pelaku Dukun Santet di Jawa
Timur.
1998

a.. Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus, aparat keamanan bersikap pasif
dan membiarkan. Ribuan jiwa meninggal, puluhan perempuan diperkosa dan harta
benda hilang. Tanggal 13 – 15 Mei 1998.
b.. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa Trisakti di jakarta , dua hari
sebelum kerusuhan Mei.3. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam
demonstrasi menentang Sidang Istimewa 1998. Peristiwa ini terjadi pada 13 –
14 November 1998 dan dikenal sebagai tragedi Semanggi I.
1999

a.. Pembantaian terhadap Tengku Bantaqiyah dan muridnya di Aceh. Peritiwa
ini terjadi 24 Juli 1999. Pembumi hangusan kota Dili, Timor Timur oleh
Militer indonesia dan Milisi pro integrasi. Peristiwa ini terjadi pada 24
Agustus 1999.
b.. Pembunuhan terhadap seorang mahasiswa dan beberapa warga sipil dalam
demonstrasi penolakan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya
(RUU PKB). Peristiwa Ini terjadi pada 23 – 24 November 1999 dan dikenal
sebagai peristiwa Semanggi II.

Ditulis dalam indonesia, pojok santai | Tag: 1965, ham, indonesia

Diambil dari
http://ithum.wordpress.com/2008/02/28/data-data-kasus-pelanggaran-ham-semasa
-orde-baru)

Ada Maling Kepingin Jadi Pemimpin

Berita-berita tentang Tommy ini juga disajikan di website
http://umarsaid.free.fr/
Berbagai ocehan Tommy Soeharto

yang aneh-aneh

Sudilah kiranya para pembaca menyimak sebentar sejumlah berita-berita di
bawah ini mengenai Tommy Soeharto, yang dengan resmi telah mendeklarasikan
diri sebagai calon ketua umum Partai Golkar baru-baru ini, dan
ucapan-ucapannya yang “menarik”, karena aneh-aneh serta bisa mencengangkan
bagi banyak orang,

Umpamanya, ia mengatakan bahwa “Belakangan ini, suara Golkar selalu menurun.
Jika saya menjadi ketua umum, semoga perolehan suara Golkar pada pemilu
(2014) minimal 60 persen, atau bahkan 74 persen seperti yang pernah diraih
pada masa Orde Baru”. (Komentar kecil : Apa tidak terlalu gede kepala yang
begini ini ? Banyak orang tahu bahwa Golkar pada masa-masa Orde Baru bisa
meraih suara sampai 60 persen, bahkan 74 persen (!) , karena rakyat digiring
dengan todongan pistol dan bedil, intimidasi lewat KORPRI atau lurah, camat,
bupati dan gubernur dan macam-macam praktek busuk lainnya. Di samping itu
dana gelap atau uang haram yang bisa digalang –juga dengan paksa -- untuk
memenangkan Golkar adalah luar biasa besarnya. Sekarang ini, golongan
militer sudah tidak bisa lagi main “backing” sepenuhnya seperti dulu.
Karena itu, dalam pemilu 2009 Golkar hanya peroleh 19 % suara)

Atau, jawabannya atas pertanyaan wartawan mengenai motivasinya mencalonkan
diri, Tommy mengaku prihatin dengan persoalan bangsa yang terus
menyengsarakan rakyat. "Tidak mungkin saya berdiam diri semata," ujarnya.
(Komentar kecil : sejak kapan Tommy Soeharto “prihatin dengan persoalan
bangsa yang terus menyengsarakan rakyat” ? Sejak mendekam di Nusakambangan ?
Persoalan bangsa yang terus menyengsarakan rakyat itu justru adalah diktatur
yang dikepalai oleh ayahnya, dengan bantuan penuh selama 32 tahun dari
Golkar. Bukanlah apa-apa lainnya. Sekarang, kalau Tommy berdiam diri saja,
malahan lebih baik untuk negara dan rakyat. Karena, jadi berkuranglah sampah
dan kotoran.)

Atau ucapannya yang lain lagi, yang menyatakan ““Golkar adalah partai yang
mementingkan kepentingan rakyat” Karena itu ia berjanji bahwa nantinya
Golkar lebih merakyat. (Komentar kecil : Omong kosong besar !!! Sudah 45
tahun lamanya (sejak 1964) justru Golkar sudah melupakan atau mengkhianati
kepentingan rakyat. Itu sebabnya kebanyakan pengurus utamanya gendut-gendut
kantongnya, atau banyak simpanan di bank-bank mereka, atau punya dua tiga
mobil, atau rumah mereka serba mewah-mewah).

Tommy juga mengklaim menjadi korban berbagai kasus hukum yang melilitnya,
termasuk kasus pembunuhan hakim agung Syaifudin Kartasasmita. Ia menyatakan
bahwa semua orang tahu kalau itu sandiwara. (Komentar kecil : Tommy rupanya
berusaha “membersihkan diri” dari kasus hukum yang melilit-lilit sekitar
persoalan Cengkeh, mobil Timor, Humpuss, dan seabreg-abreg kasus kotor
lainnya. Namun, kasusnya yang berkaitan dengan pembunuhan hakim agung
Syafiudin Kartasasmita,adalah sudah begitu jelas bukti-bukti dan
kesaksian-kesaksiannya, sehingga sulit dikatakan sebagai sandiwara saja.
Tommy sama sekali bukanlah korban kasus hukum, melainkan justru perusak
hukum atau penyalahgunaan hukum, yang besar dan lihay pula).

A. Umar Said

Paris, 12 September 2009

Senin, 07 September 2009

*MEMBAKAR BUKU, CERMIN JIWA KERDIL -- MISKIN PEMIKIRAN *..(temu_eropa@yahoogroups.com)

*MEMBAKAR BUKU, CERMIN JIWA KERDIL -- MISKIN PEMIKIRAN *


Di abad ke-21 ini. --- Sesudah 10 tahun formalnya periode Orba dikubur,
masih saja terjadi hal-hal yang pada periode Orde Baru adalah 'biasa'
dan 'wajar'. Belum lama terjadi lagi pembakaran buku-buku. Sebagai
pelengkap dari unjuk rasa, untuk menekan media. Rupanya 'warisan' Orba,
selain KKN, masih ada lainnya. Masih bisa muncul seorang profesor
bernama AMINUDDIN KASDI. Ia dengan gaya preman membela Orang-orang dari
FPI dan organisasi anti-Komunis lainnya, membakar buku-buku SUMARSONO,
tentang Revolusi Agustus.


Sang profesor, Aminudin Kasdi, menganggap yang ia namakan 'sejarah',
penulisan peristiwa lalu, adalah yang ia sendiri anggap benar. Sebagai
pemegang monopolis tunggal, ia sendirilah kebenaran sejarah. Aminuddin
Kasdi menghalalkan pembakaran buku-buku Sumarsono mengenai pengalamannya
sekitar Revolusi Agustus. Sang profesor tsb membenarkan dan mendukung
penuh organisasi-organisasi anti-Komunis tsb menekan, memaksa, mengancam
dan menteror para pengelola media, agar tidak menulis, menyiarkan yang
tidak sesuai dengan pandangan dan politik mereka.


* * *


Hari ini bisa dibaca di 'Facebook' sebuah artikel oleh ZEN /RS, jebolan
jurusan sejarah di Kampus UNY Karangmalang Jogja. /Sekalian
dipublikasikan beberapa komentar dan tanggapan. Silakan membacanya!
Tulisan Zen RS, menunjukkan 'cendekiawan sejarawan' godokan rezim
Presiden Suharto itu, . . . . kerdil pemikirannya, miskin jiwanya!


* * *


*Surat Terbuka Untuk PROF AMINUDDIN KASDI*

*< Senin, 07 September 2009>* *
*
/Oleh Zen RS/
Sungguh saya tidak habis pikir seorang guru besar sejarah seperti
Sampeyan bisa-bisanya ngomong begini: “Sejarah memang versinya yang
menang. Lha, gimana, kalah kok /njaluk/ sejarah!”

Prof. Aminuddin Kasdi, sampeyan pasti tahu itu parafrase yang sudah
nyaris menjadi klise, sekaligus sindiran yang tajam pada narasi sejarah
yang dianggap selalu memberi porsi besar pada para “pemenang” dan
mengabaikan para “pecundang”, tak peduli ia punya peranan besar atau
kecil sekali pun.

Mestinya, mahasiswa sejarah, para pengajar sejarah, apalagi para guru
besar sejarah macam Sampeyan, merasa malu dan tersindir dengan parafrase
itu. Sebab, jika parafrase itu diterima dan dilanggengkan,itu sama saja
mengatakan: “Lha emangnye sejarawan ngumpet semua di ketiak penguasa
semua? Sampeyan juga dong, ya?”

Jika memang sejarah hanya untuk para pemenang, ngapain lagi belajar
sejarah, mempelajari filsafat sejarah, metode dan metodologi sejarah?

Jika sejarah hanya memberi tempat pada para pemenang yang berhasil
memenangkan satu “kompetisi” panjang merebut kekuasaan, ngapain lagi
masih ada Departemen Sejarah di perguruan tinggi? Ngapain pula Sampeyan
ngajar sejarah di kampus? Ngapain pula Sampeyan masih jadi guru besar
sejarah?

Jika demikian, tak usahlah melakukan penelitian tentang DI/TII,
PRRI/PERMESTA, atau RMS. Tak usah pula susah-susah menulis tentang
Kartosuwirjo, Aidit, Njoto, Soumakil, Sjafruddin Prawiranegara, Soetan
Sjahrir, atau Tan Malaka. Tak usah pula Anda menulis buku tentang BTI
yang mengkampanyekan land reform?

Jika benar bahwa para pecundang dalam sejarah tak usah diberi tempat
dalam historiografi, maka saya sarankan Sampeyan juga membakar semua
buku-buku tentang PKI, semua-mua buku tentang DI/TII, segala-gala buku
tentang PRRI/Permesta.

Eits, tapi nanti dulu. Tapi kenapa Sampeyan hanya mengamini dan
membiarkan pembakaran buku Revolusi Agustus karya Soemarsono? Apa karena
Soemarsono seorang komunis?
Oooo, jika begitu, saya paham apa yang Sampeyan maksudkan. Sampeyan
maksudnya ingin omong: Para pecundang memang tak berhak meminta sejarah,
tapi tak semua harus dibakar, cukup buku-buku PKI saja yang dibakar,
bukan? Karena mereka komunis, bukan?
Prof., sejarah di negeri ini memang penuh dengan bau yang tak sedap.
Tidak mudah, memang, mengakui hal itu. Apalagi jika kebenaran sejarah
itu ternyata tidak sesuai seperti yang Sampeyan bayangkan, tidak senada
dengan yang Sampeyan harapkan.

Seorang fans berat Soekarno pasti akan merasa tak enak hati jika
teringat Soekarno yang inspiratif itu pun pernah berlaku lancing
memenjarakan lawan-lawan politiknya [Sjahrir, Natsir, Kasman
Singodimedjo sampai Mochtar Loebis] tanpa pengadilan dan membubarkan
partai-partai yang berlawanan pandangan politik dirinya [PSI dan Masjumi].

Seorang pengagum Pramoedya, sastrawan yang karya-karyanya penuh dengan
pembelaan terhadap kemanusiaan, pasti akan sedikit perih jika ingat
bahwa Pram pernah berkata: “Kenapa buku-buku semacam ini [novel Dokter
Zhivago karya Boris Pasternak] masih juga bisa ditemukan di pinggir jalan?”

Seorang anak muda dari lingkungan NU yang tercerahkan pasti akan perih
hatinya menyadari banyak santri dan kyai yang mengamini dan bahkan
melakukan pembunuhan massal pada orang-orang yang dianggap terlibat
dengan PKI.

Seorang terpelajar Indonesia akan sedih mengetahui bahwa tentara dari
negeri yang sangat ia cintai pernah berlaku lancung dan ganas di Aceh,
Timor Timur dan Papua.

Seorang yang anti-PKI pasti akan susah untuk mengakui bahwa partai
inilah yang pertama kali menggunakan nama Indonesia sebagai nama
partainya. Seorang yang anti-PKI pasti akan kesulitan mengakui bahwa di
saat partai dan organ-organ pergerakan lain memilih jalan moderat,
justru PKI-lah partai dan organ pergerakan pertama yang terang-terangan
berani angkat senjata pada pemerintah colonial Hindia-Belanda.

Jika Sampeyan seorang politisi atawa seorang ideolog, saya bisa mafhum
jika Sampeyan hanya akan mengungkapkan apa yang dirasa penting dan
sesuai dengan visi politik dan ideologi yang dianut. Tapi Sampeyan
seorang akademisi, guru besar pula.

Baiklah, sekali lagi, baiklah, saya mencoba mafhum dan sekuatnya mencoba
paham. Orang memang boleh punya pandangan politik, juga berhak menganut
ideologi. Itu juga berlaku pada seorang akademisi, seorang sejarawan,
bahkan seorang guru besar.

Tapi, sungguh, saya tak bisa paham kenapa Sampeyan ikut-ikutan
membiarkan orang-orang yang membakar buku Revolusi Agustus karya
Soemarsono? Saya sukar untuk paham kenapa bisa seorang guru besar
mendukung aksi vandalisme? Kenapa bisa Anda hadir di kerumunan para
pembakar buku dan sempat pula dikabarkan memberi orasi di sana dan
seakan menjadi juru bicara para pembakar buku saat berdialog dengan
redaksi Jawa Pos?
Untuk soal bakar-bakaran buku itu, maaf saja Prof. Aminuddin Kasdi,
sampeyan sudah kelewatan.

Sejak hari pembakaran buku itu, Sampeyan tak punya lagi otoritas moral
untuk menyerukan mahasiswa membaca buku, karena bagaimana bisa kita
dengar seorang yang mendiamkan dan menyetujui pembakaran buku malah
menganjurkan mahasiswanya membaca? Sampeyan lebih pantas menganjurkan
mahasiswanya membakar buku, daripada membaca buku.
Sejarah mungkin milik para pemenang, seperti yang Sampeyan katakan.
Tapi, sejarah [google dan mesin pencari di internet] telah mencatatkan
Aminuddin Kasdi sebagai salah seorang profesor penyokong pembakaran
buku. Anak cucu Anda, Profesor, akan mengetahui hal ini, kelak!

Ataukah gelar *Prof[esor]* di depan nama sempeyan itu perlu diganti
menjadi *Prov[okator]?* Baiklah kalau begitu. Tampaknya Sampeyan lebih
gagah jika menyandang nama Prov. Aminuddin Kasdi!/* Zen RS, jebolan
jurusan sejarah di Kampus UNY Karangmalang Jogja. Tinggal di Jakarta./


* * *


KOMENTAR DAN TANGGAPAN:

Iskandar Siahaan

Saya bukan sejarawan, jadi tak tahu siapa itu Aminuddin Kasdi. Adakah
yang bisa memberi keterangan dia belajar dan mengajar di mana sampai
dapat gelar profesor itu? Saya sangat berharap dia membaca tulisan di
atas dan bersedia mendiskusikannya. Kita ingin tahu apa di balik pikiran
sang profesor sehingga dia rela ikut berorasi dalam sebuah peristiwa...
Lees Meer pembakaran buku. Saya tidak merasakan suasana menjelang
peristiwa G30S, ketika PKI dan Bung Karno demikiran berkuasa. Dari
bacaan sejarah saya yang terbatas, konon ketika itu juga terjadi
pembakaran buku oleh orang-orang atau simpatisan PKI. Jangan-jangan yang
ada dalam pikiran sang profesor, andai PKI menang dan sekarang berkuasa,
mereka juga akan membakar buku. Tapi akal sehat kita akan menentang
pembakaran itu seperti sekarang juga kita menentang pembakaran buku yang
dihadiri sang profesor! Lawanlah narasi dengan narasi, bukan dengan
tangan besi.

Lukmono Suryo Nagoro


Mgkn aja gelar prof yg menganugerahi FPI..jd kerjaannya yg cm
bakar,ngerusak,pokoknya yg anarki2...hehehe

Antonius Made Tony Supriatma


Kasbi itu tergabung dalam Forum Silaturrahmi Mengawal NKRI dan Pancasila
dari Ancaman Neo-Komunisme. Tokoh lain organisasi ini KH Ir Solahuddin
Wahid (Gus Solah, pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang), Prof Dr
Aminuddin Kasdi (Masyarakat Sejahrawan Indonesia/MSI Jatim), Prof Dr Edi
Sri Swasono (ekonom), Taufik Ismail (budayawan), Mayjen TNI (Purn)
Sutoyo NK (mantan Dirjen Sospol Depdagri), dan KH Abdussshomad Bukhori
(Ketua MUI Jatim).

Antonius Made Tony Supriatma


Kasbi itu tergabung dalam Forum Silaturrahmi Mengawal NKRI dan
Pancasila dari Ancaman Neo-Komunisme. Tokoh lain organisasi ini KH Ir
Solahuddin Wahid (Gus Solah, pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang),
Prof Dr Aminuddin Kasdi (Masyarakat Sejahrawan Indonesia/MSI Jatim),
Prof Dr Edi Sri Swasono (ekonom), Taufik Ismail (budayawan), Mayjen TNI
(Purn) Sutoyo NK (mantan Dirjen Sospol Depdagri), dan KH Abdussshomad
Bukhori (Ketua MUI Jatim).

Coen Husain Pontoh

Gus Solah harusnya segera keluar dari Forum itu, biar nama NU nggak
keikut-ikut ama anasir-anasir Islam kanan ama tentara ini

-'Riane Elean'-

Sinisme: "terpujilah wahai engkau yg -sambil menganggap dirimu pahlawan-
dengan sengaja memancung fakta sejarah dan menstigmatisasi bangsa ini
dengan sejarah palsu apapun alasannya. Sadarkah engkau bahwa engkau
sementara memancung dan menisbikan eksistensimu dan eksistensiku ?
Hebat, terpujilah engkau."

M.f. Mukthi

FPI=Front Penghianat Islam. Jelas2 dlm Islam yg pertama diperintahkan
adalah membaca. Bagaimana mau membaca kalau bahan bacaannya dibakar?

Bodrek Arsana

Kalo gak salah pernah lihat Pakde Kasdi ini dalam sebuah seminar...gaya
bicaranya kayak Taufik Ismail atawa Ridwan Saidi..merasa selalu benar
dan selalu marah..dengan intonasi yg keras...ciri-ciri orang tekanan
darah tinggi...kalo ngomong mirip atasan yg otoriter memberi perintah
pada bawahan yg hopeless...tapi ya itulah apalagi ada gelar Prof.
didepannya...

Nana Lystiani

sebagai editor buku, pecinta buku, dan kolektor buku, sedih banget bila
melihat pembakaran buku. betul-betul vandalist, ga beradab. kalau tidak
setuju dengan jalan pemikiran si penulis, bantahlah dengan tulisan juga
donk, jangan bakar bukunya, apapun alasannya. bagaimana mau menumbuhkan
minat baca-tulis di Indonesia, bila media-nya bisa dibakar oleh orang
yang ga sepaham dengan apa yang tertulis di buku itu.

Ira Bifurkasi

Satu lagi otoritarianisme dari warga masyarakat tak beradab..yang
sayangnya justru menempati episentrum struktur masyarakat bangsa ini.

_Arifadi Budiarjo_

Sungguh memprihatinkan...memang gelar akademis tidak selalu selaras
dengan kualitas intelektualitas seseorang..

F.budi Sanyoto

ini profesore sebenere yang pecundang. tercatat mulai sekarang, profesor
ini sbg aktor penting dalam sejarah pembakaran buku.

Tatang Jatmiko

Bhw sejarah adlh salah satu alat untk melihat perjalanan bangsa terlepas
dari penělaian baik-buruk sejarah itu sendiri, sejarah adalah salah satu
alat untk menemukan karakter bangsa,
bila sejarah telah dimusnahkan, apalagi seorang guru besar terlibat
dalam pemusnahannya, maka saya turut serta mempertanyakan kembali gelar
guru besarnya?

Budi Wardoyo

Pasca Reformasi sudah terlalu banyak pelarangan buku, pembakaran buku
dan pelarangan/pembubaran kegiatan2 yang dianggap sebagai kegiatan kaum
sosialis kerakyatan ( belum lagi pembantaian massal 65 dan selama Orde
Baru berkuasa)
Rezim Orde Baru hingga Rezim hari ini, memang tak menghendaki lahir dan
berkembangnya kekuatan politik demokratik (... Lees Meerapalagi
demokatik sosialis)
Sejatinya ini adalah pertarungan politik antara kubu reaksioner versus
kaum demokartik+sosialis, dengan demikian solusinya adalah solusi
politik, yaitu pergantian kekuasaan dari tangan kaum reaksioner ke
tangan kaum demokratik dan sosialis...

Setyo Arie Kusmawan

Prof. Yang tdk pernah menghargai karya2 orang lain, prof. orang terdidik
jd orang picik..prof. Kao lebih biadab dari pada teroris...


* * *


"Surat Terbuka untuk Prov. Aminuddin Kasdip , adalah 'gebrakan',
'jebolan', boleh juga dibilang 'tonjokan' bagus sekali, terhadap fikiran
yang 'mind-set', dari 'sarjana', (atau 'sejarawan'), hasil godokan Orba.
Bagus, bagus, Bung Zen. Perjuangan menegakkan pandangan dan sikap yang
benar-benar sejarawaniah, cendekiawaniah , akan panjang. Maju terus
pantang mundur!!!


* * *

44 tahun menanti keadilan....

Dalam rangka memperingati 44 tahun 30 September 1965, berikut di bawah ini
disajikan bahan dari YPKP 1965/1966 (Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan)
yang secara ringkas mengutarakan masalah korban peristiwa 30 September 1965,
baik yang di Indonesia maupun di pengasingan (luar negeri), sebagai bahan
renungan bersama. Dari bahan ini nyatalah bahwa sebagian besar para korban
tidak tinggal diam. Juga yang di luar negeri, atau di pengasingan. Sehari
setelah terjadinya 30 September 1965, tragedi yang mengerikan itu, berbagai
orang di antara mereka berusaha berbuat sesuatu di pengasingan, antara lain
seperti yang diungkap secara ringkas dalam pertemuan « Silaturahmi Korban
1965 Nasional dan Internasional (Eksil) ». Berbagai orang di antara mereka
itu masih melakukannya sampai saat ini, untuk memperingati sejarah berdarah
tersebut . Bahan berikut di bawah ini ini merupakan inti dari isi
pembicaraan dalam pertemuan yang diadakan di Jakarta 21 Juli 2008 itu,
dimana hadir sebagai narasumber :

* Bedjo Untung (Ketua YPKP 1965/1966): berbicara tentang kondisi para korban
1965/1966 karena perampasan hak-hak sosial, ekonomi, dan politik; pengalaman
perjuangan para korban 1965/1966 dan agenda-agenda perjuangan yang telah
dilakukan, serta harapan perjuangan ke depan.

* Arif Harsana (Moderator Temu Eropa, korban 1965 eksil, tinggal di Jerman):
berbicara tentang para korban 1965/1966 eksil karena perampasan hak-hak
sosial, ekonomi, dan politik; pengalaman perjuangan para korban 1965/1966 di
luar negeri dan agenda-agenda perjuangan yang telah dilakukan, serta harapan
perjuangan ke depan
.
* Harsutedjo (pada 1965 pernah aktif di Himpunan Sarjana Indonesia dan
pernah ditahan, sejarawan yang mendalami peristiwa 1965): berbicara tentang
fakta-fakta dan analisis sejarah peristiwa 1965, dimulai dari pra kondisi
(ekonomi, politik) tahun 1965, 30 September 1965, dan setelahnya; dan
masukan atau harapan perjuangan korban 1965 ke depan.

* Nurcholis (Ketua Tim Penyelidik Peristiwa 1965/1966 Komnas HAM): berbicara
tentang kinerja Tim Penyelidik Peristiwa 1965/1966 Komnas HAM.

Bahan ini juga mengungkap bahwa setelah terjadinya tragedi yang mengerikan
itu terbukti di pengasingan berbagai hal yang penting telah terjadi, untuk
menghadapi akibat 30 September 1965 yang ditimbulkan oleh kontra revolusi
yang dilakukan Suharto dan konco-konconya.

Silakan para peminat peristiwa 30 September 1965 menyimaknya.

A. Umar Said


= = = = = = =



Kerangka Acuan untuk pertemuan
para korban 30 September 1965

Pengungkapan kasus tragedi kemanusiaan dan politik 1965 merupakan pembuka
kotak pandora
tabir kelam sisi lain dari kasus itu. Upaya ini sudah mulai dimotori oleh
Gus Dur sebagai Presiden Indonesia yang pada tahun 2000 mewacanakan mencabut
Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang larangan keberadaan
Marxisme-Leninisme di awal masa reformasi. Dukungan Gus Dur ini membawa
angin segar bagi para korban 1965.

Bagaimana tidak, penderitaan sekian puluh tahun dirasakan begitu berat bagi
para korban. Setelah peristiwa 30 September dan 1 Oktober 1965 terjadi,
penangkapan sewenang-wenang, penculikan, tindak kekerasan, bahkan pembunuhan
terhadap jutaan orang pendukung dan simpatisan pemerintahan Soekarno, para
anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), dan yang distigma
komunis marak terjadi di seluruh Indonesia demi pelanggengan rejim orde baru
Soeharto yang anti terhadap pemerintahan Soekarno dan komunisme karena
Soeharto antek negara imperialis Amerika.

Namun, dalam perjalanannya upaya humanis ini ditentang berbagai pihak dari
sisa-sisa kekuatan rejim orde baru, termasuk yang berada di dalam kabinet
Gus Dur sendiri. Harapan yang membubung tinggi dari para korban 1965 lantas
sirna karena kasus pelanggaran hak asasi manusia ini hanya bisa diselesaikan
oleh keinginan politik pemerintah yang berkuasa dan digdaya kemanusiaan dan
keadilan di atas hukum negeri ini.

Salah satu yang menjadi justifikasi dan legitimasi hukum dan politik
masyarakat dan negara yang enggan menuntaskan kasus ini adalah konstruksi
sejarah yang manipulatif. Dalam pergulatan bangsa di dunia, sejarah
seringkali digunakan sebagai alat legitimasi (politik) kekuasaan. Karya
sejarah dignakan sebagai media propaganda dan alat legitimasi kekuasaan Orde
Baru. Melalui konstruk-konstruk sejarah ini penguasa melakukan produksi dan
reproduksi ingatan kolektif bangsa Indonesia, termasuk merepresi pemikiran
masyarakat yang selalu diposisikan dalam oposisi biner. Masyarakat yang
membangkang selalu diposisikan sebagai masyarakat yang anti pancasialis
berarti bisa diasosiasikan sebagai komunis yang berarti anti kepada
pemerintah. Masyarakat yang membangkang akan ditempatkan pada stigma oposisi
yang bertentangan dengan dasar-dasar ideologi yang dikultuskan rejim
penguasa, seperti kelompok pancasialis-non pancasialis, kelompok
komunis-nonkomunis.

Monopoli atas « kebenaran » sejarah peristiwa 30 September dan 1 Oktober
1965 oleh pemerintah Orde Baru digunakan sebagai justifikasi peralihan
kekuasaan Soekarno ke Soeharto dan dalih pembunuhan massal pengikut
Soekarno, anggota dan simpatisan PKI, serta orang-orang yang distigmatisasi
komunis. Secara tidak langsung sebagai pra kondisi untuk mengantar pada
penerapan kebijakan ekonomi neoliberal. Soeharto dkk telah menyiapkan pacu
landas pesawat negara-negara imperialis untuk mendarat ke Indonesia.
Sementara itu, nasib korban masih diabaikan.

Selama puluhan tahun, para korban 1965 yang berada di tanah air, yang masih
hidup, menjalani siksaan di bui dengan perlakukan yang tidak manusiawi dan
tanpa kejelasan hukum. Para korban ini ditangkap tanpa melalui proses hukum.
Artinya tidak ada kejelasan tentang kebebasan mereka. Beberapa di antara
mereka wafat di dalam penjara atau dieksekusi mati oleh para militer
antek-antek Soeharto.

Keluarga mereka pun mengalami perampasan hak sipil, politik, ekonomi,
sosial, dan budaya sebagai hak dasar warga negara dan dijamin oleh
peraturan perundang-undangan negara kita. Saat para tahanan politik ini
bebas bukan berarti hak-hak dasar mereka dipenuhi kembali oleh negara.
Kebebasan mereka masih « disandera » oleh dampak dari perampasan hak
tersebut dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik mereka.

Tidak hanya orang-orang yang menjadi korban dari « kudeta merangkakï » yang
dilancarkan Suharto dkk pada tahun 1965 yang ada di tanah air. Tetapi juga,
orang-orang yang saat peristiwa 30 September 1965 berada di luar negeri.
Mereka yang berada di luar negeri berangkat membawa tugas dari bangsa
dikirim oleh pemerintahan Soekarno dengan latar belakang profesi yang
beragam, antara lain dokter, sastrawan, wartawan, insinyur, dan mahasiswa
yang belajar ke luar negeri (banyak yang berada di Eropa, China, dan Rusia).
Selain itu, ada beberapa yang terlibat di organisasi internasional,
mengikuti perayaan, dan yang sedang berobat. Sebagian besar dari orang-orang
ini terdiri dari pelajar atau mahasiswa karena pada akhir 1950-an sampai
dengan 1965 ada banyak pemuda Indonesia yang dikirim ke luar negeri untuk
tugas belajar sebagaimana misi Soekarno yang menginginkan pemuda-pemudi
Indonesia kelak dapat membangun kemandirian pembangunan Indonesia tanpa
tergantung oleh negara-negara kapitalis. Mereka menimba ilmu di berbagai
perguruan tinggi terkenal di beberapa negara Eropa Barat maupun Eropa Timur.
Mereka ini yang sering disebut media dengan exile. Eksil adalah mereka yang
melarikan diri ke luar negeri akibat berbagai tingkat tekanan politik
pemerintah.

Pergolakan politik 1965 yang begitu memanas dalam skala nasional dan
internasional yang dimenangi oleh kelompok-kelompok boneka imperialis
membuat mereka terhalangi untuk pulang.Setelah terbitnya Surat Perintah 11
maret 1966, pemegang kekuasaan tertinggi secara de facto saat itu, yakni
Soeharto mengintruksikan beberapa Kedutaan Besar Republik Indonesia di
masing-masing negara memanggil semua warga Indonesia untuk disodorkan surat
dukungan kepada pemerintah Soeharto sebagai penguasa baru di Indonesia.
Mereka yang berada di luar negeri yang masih menggangap Soekarno masih
presiden yang sah memimpin bangsa Indonesia tidak mau menandatangani surat
itu. Konsekuensinya, penguasa mencabut paspor mereka dan mencabut status
kewarganegaraannya. Salah satunya dialami oleh Duta Besarnya sendiri yang
bertugas di Kedutaan Republik Indonesia untuk Kuba, AM Hanafi dan Duta Besar
Republik Indonesia untuk Mali, S Tahsin Sandjadirdja.

Bentuk pencabutan paspor dan kewarganegaraan atas tuduhan yang tidak pernah
terbuktikan sampai sekarang merupakan kepuïtusan di luar hukum, ekstra
judisial. Keputusan ini merupakan pelanggaran hukum paling berat dan
melanggar hak asasi manusia. Mereka yang tidak bisa kembali ke tanah air
harus berpisah dengan sanak keluarga dan banyak di antara mereka hanya
memiliki modal yang sedikit untuk waktu yang begitu lama di negeri orang.

Pada masa pemerintahan Gus Dur, Menteri Hukum dan Perundang-undangan
(Menkumdang) Yusril Ihza Mahendra diutus ke luar negeri menemui orang-orang
Indonesia yang telah kehilangan hak dan kewarganegaraannya itu.. Hal ini
dalam rangka perhatian khusus soal kepulangan dan pengakuan
ke-warganegaraannya kepada para korban yang diasingkan. Tapi, niat baik itu
ternyata terhalang oleh tarik ulur kepentingan politis sehingga rencana ini
gagal sampai pada penggulingan kekuasaan pemerintahan Gus Dur. Sampai saat
ini, persoalan paspor dan kewarganegaraan masih belum diselesaikan, sehingga
mereka hanya bisa datang tetapi tidak bisa pulang.

Di tanah pengasingan ini, banyak diantara mereka yang hijrah ke Barat ketika
usianya sudah lanjut dan terlambat dalam mencari kehidupan di masa tuanya
bekerja sebagai sopir taksi atau penjaga kantin sekolah, namun bergelar PhD.
Ada juga yang meraih prestasi yang membanggakan, misalnya Dr Manuaba yang
menjadi peletak dasar-dasar pengembangan nuklir di Hongaria, DR Waruno Mahdi
yang menjadi peneliti di Max Planc Institute Jerman dan penyusun kamus
bahasa Melanesia,

Bambang Soeharto lulusan Institut Pertelevisian Cekoslovakia yang pernah
menjadi satu-satunya orang kelahiran non-Jerman yang sempat menjadi Direktur
WDR (TVRI-nya Jerman), Prof Ernoko Adiwasito yang menjadi mahaguru ilmu
ekonomi di Venezuela, dan apoteker sukses lulusan Bulgaria yang kini mukim
di Berlin, Sri Basuki (Ari Junaedi, 2008). Selain itu ada yang menerbitkan
buku memoar sebagai salah satu upaya melawan hegemoni sejarah 1965 yang
dimanipulasi oleh penguasa orde baru, seperti yang ditulis oleh Imam
Soedjono dalam Yang Berlawan, biografi Ibrahim Isa, Umar Said, JJ Kusni,
Sobron Aidit, biografi Mawie Ananta Jonie, eks eksil-cum-penyair yang kini
menetap di negeri Belanda. Menurut Ari Junaedi (2007), Doktor Universitas
Padjadjaran (Unpad) Bandung yang meneliti pola komunikasi para pelarian
politik tragedi 1965 di mancanegara, jumlah korban yang ada di luar negeri
mencapai 1.500 orang.

Kasus 1965 sampai saat ini masih menjadi pekerjaan rumah negara ini dan
belum memberikan hasil signifikan bagi para korban meskipun sudah
terbentuknya Tim Penyelidik Peristiwa 1965/1966 Komnas HAM. Ketidakseriusan
negara dalam menuntaskan kasus ini membuat para korban 1965 tidak tinggal
diam. Di Eropa sendiri, telah dibentuk komunitas para korban 1965 membahas
peristiwa 1965 dan peristiwa sosial,ekonomi, dan politik di tanah air.

Komunitas ini bernama Temu Eropa. Temu Eropa mencoba menggalang para korban
1965 yang selama ini tinggal di Eropa untuk saling berkomunikasi dan
berdiskusi. Beberapa agenda telah mereka lakukan sebagai perhatian dari
peristiwa yang membuat mereka sampai saat ini diasingkan di Eropa. Karena
letaknya di Eropa, maka posisi pergerakan teman-teman yang ada di Eropa
begitu strategis jika dilihat dari saluran-saluran politis yang tersedia di
negara-negara Eropa. Sehingga diharapkan terjadi penggalangan dukungan
internasional secara langsung untuk mendapatkan perhatian dan tekanan
internasional terhadap pemerintah. Beberapa lembaga internasional yang
memiliki perhatian terhadap kasus 1965 (termasuk Perhimpunan Bangsa-bangsa
(PBB)) ada disana. Peluang saluran-saluran politis di tingkat internasional
bisa dimanfaatkan oleh teman-teman Temu Eropa untuk disinergikan dengan
pergerakan para korban 1965 yang ada di tanah air.

Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966 yang berdiri sejak
tahun 1999, merupakan salah satu organisasi korban 1965 yang sampai saat ini
melakukan berbagai upaya politis dan sosial, termasuk pengungkapan sejarah
kelam pada tahun 1965 untuk pelurusan sejarah yang mengedepankan kebenaran
bagi publik dan keadilan bagi korban, mencoba menjalin kerja bersama untuk
menggalang kekuatan politis dan memanfaatkan instrumen-instrumen hukum yang
ada, baik di tingkat nasional maupun internasional. Beberapa daftar korban
pembunuhan atau penghilangan paksa di tahun 1965/1966 sudah dilaporkan ke
PBB dan telah mendapatkan respon balik yang positif.

Kamis, 23 April 2009

Tejakusuma di Bukit Manjeran: Asal-usul Desa Lanjan dan Riwayat Kyai Gusti
Oleh : arik
Budaya tutur merupakan sebuah aktivitas budaya khas dari Nusantara maka tidak heran jika di negeri ini banyak sekali berserak cerita-cerita tutur yang menceritakan segala aspek yang berkembang pada suatu masyarakat. Sebuah cerita tutur biasanya berisi cerita sejarah yang memiliki kandungan yang sarat nilai sosial dan moral. Namun, betapapun banyaknya cerita tutur yang ada di masyarakat dalam suatu masa kedepan pasti akan musnah jika tidak ada pihak yang merasa handarbeni akan tradisi ini, jika seseorang sudah memiliki sikap handarbeni terhadap suatu peninggalan budaya maka secara otomatis akan tergerak hatinya untuk hamemayu budaya yang bersangkutan. Budaya tutur semacam ini perlu dilestarikan antara lain dengan proses penulisan kembali budaya tutur yang berserakan tersebut.
Asal-Usul Dusun Lanjan
Dahulu terdapat pasangan suami istri yang berprofesi sebagai petani berasal dari Desa Candi Garon. Pasangan suami istri ini dikemudian hari akan disebut sebagai Kyai Rusmi dan Nyai Rusmi, ada pula yang memberikan nama Kyai Arum dan Nyai Arum serta ada pula yang memberikan nama Kyai Abdul Madjid dan Nyai Abdul Madjid. Mereka berdua ini berasal dari Dukuh Candi, yang sekarang masuk dalam Desa Candi Garon, dan bekerja menggarap sawah di Dusun Lanjan. Pada awalnya pasangan suami istri petani ini memiliki rumah sekaligus sebagai bobak citak atau pendiri daerah Candi Garon, lalu mereka bermaksud mencari penghidupan lain dengan keluar dari desanya. Perjalanan mereka berdua melaui lembah-lembah yang curam dan keluar masuk hutan yang keliwat gawat ibaratnya janma mara janma mati.
“sudah jauh perjalanan kita, Nyai. Melewati lembah dan menembus hutan yang sangat gawat. Kukira kita cukup sampai disini saja, sebagai rasa syukur kepada Gusti yang telah memberi kita berdua keselamatan hingga saat ini, mari kita membuka lahan ini Nyai.” Ucap Kyai Rusmi kepada istrinya, “kalau begitu, saya menurut saja” begitu jawaban tulus Nyai Rusmi kepada suaminya. Akhirnya, mereka menggarap sebidang tanah di wilayah yang kemudian disebut dengan nama Dusun Lanjan ini.
Setelah membuka sawah, Kyai Rusmi kemudian bermaksud akan mengairinya. Lalu beliau menancapkan sebuah incis atau sejenis tongkat yang berujung besi aji ke tanah kemudian segera dicabut dan serta merta keluarlah air dari bekas tusukan incis tersebut. Kyai Rusmi sangat senang melihat sumber air yang besar itu, maka keluarlah sabda darinya, “kelak sumber air ini akan tetap mengalir apabila anak keturunanku atau masyarakat Lanjan tidak mencuci sarangan dan membuang kotoran di sumber ini, karena kedua hal itu adalah bersifat merusak.” Kyai Rusmi adalah tetua yang sangat memperhatikan kebutuhan anak dan warga sekitar yang kebanyakan adalah petani maka ia membuat tiga sumber air yaitu blumbang Kali Tumpak, blumbang Kali Wetan dan blumbang Kali Beji.
Jarak antara rumah mereka di Desa Candi Garon dengan tempat garapan mereka, yang kelak bernama Dusun Lanjan, cukup jauh sehingga mereka membawa bekal bahan makanan yang masih mentah untuk dibawa ke sawah dan dimasak di tempat yang baru. Lama-kelamaan mereka berpikir untuk mendirikan sebuah gubuk sebagai sarana tempat tinggal mereka. Selain itu mereka juga membawa serta lembu mereka yang biasa digunakan untuk membajak sawah dan dibuatkan kandang di sekitar gubuk tempat tinggal mereka. Sejak saat itu Kyai dan Nyai Rusmi merasa senang tinggal di Dusun Lanjan ini hingga mereka mereka memiliki keturunan disini. Dalam perkembangannya, penduduk Dusun Lanjan bukan saja berasal dari anak keturunan Kyai dan Nyai Rusmi namun sudah banyak sekali pendatang dari luar daerah. Kebanyakan penduduk Lanjan berasal dari wilayah Mataram atau Yogya. Mereka menyingkir ke arah utara karena di wilayah Mataram terjadi situasi yang kurang aman karena merajalelanya gerombolan berandal atau penjahat. Rombongan orang-orang dari Mataram ini kemudian tiba di daerah Lanjan, profesi para pendatang dari selatan ini adalah sebagai bakul gereh atau pedagang ikan asin.

Jumat, 13 Maret 2009

ORDE-ORDE PENINDASAN•
Oleh: Ari

Sebelum masuk dalam tulisan ini saya akan lontarkan pertanyaan, masih adakah martabat bagi pihak yang terjajah? Saya yakin jawaban dari sebagian besar orang pasti akan menjawab: tidak pernah ada!. Tidak pernah ada penjajahan yang sepenuhnya memperhatikan martabat pihak yang terjajah.
Indonesia merupakan salah satu bangsa yang mengalami bentuk penjajahan yang panjang dan eksploitatif, penjajahan yang dilakukan tidak hanya oleh bangsa Eropa (Portugis, Inggris, Belanda-VOC dan pemerintah kerajaan Belanda) tetapi juga oleh sesama bangsa Asia sendiri yaitu bangsa Jepang dengan fasis-militerisnya yang menggurita di wilayah Asia Tenggara. Pasca kemerdekaan, sebenarnya Indonesia pun masih dalam cengkeraman penjajahan namun lebih kasat lagi karena dalam penindasan model baru ini unsur asing menggunakan “agen-agen lokal” mereka. Lebih parah lagi “agen-agen lokal” ini mampu menduduki tampuk-tampuk kekuasaan dalam jangka waktu yang cukup lama.
A. Penindasan masa Kolonial dan Feodalisme
Referensi yang saya gunakan untuk menjelaskan bentuk-bentuk penindasan pada kolonial dan feodal ini adalah film Max Havelaar karena dalam film ini telah tersurat dengan jelas bagaimana penindasan itu beralur secara rapi dari kolonial Belanda yang “meminjam tangan” penguasa setempat untuk melakukan eksploitasi.
Melihat film Max Havelaar maka terbayang mengenai suatu masa pada masa kolonial Belanda yaitu masa Politik Ethis, dimana pada masa ini terjadi “perubahan sikap” dari pemerintah kolonial terhadap penduduk pribumi. Kemunculan politik Ethis didorong oleh beberapa kaum Ethisi yang menghendaki kesejahteraan pribumi, pada pemikiran kaum Ethisi ini tercermin pemikiran-pemikiran humanistis. Ide “balas budi“ ini sebenarnya mulai muncul di Netherland akibat dari perkembangan pemikiran di Eropa Barat. Sistem kepartaian di Netherland pada tahun 1870 menunjukkan komposisi yang sedang berubah untuk menuju dalam iklim demokratisasi yang semakin maju, pada saat ini pula liberalisme yang diusung oleh partai liberal mulai mundur. Pada waktu kemunduraan partai liberalis inilah kemudian partai-partai yang berbasis agama (Partai Roma Katolik, Partai Anti Revolusioner, Partai Kristen Historis) mulai menunjukkan kekuatan politiknya. Tahun 1890-an terbentuk partai baru yaitu Partai Sosialis, mengenai prinsip dasar partai ini dapat disebutkan bahwa tujuan akhir plotik kolonial sehaarusnya meningkatkan kesejahteraan dan perkembangan moral penduduk pribumi, evolusi ekonomi bukannya eksploitasi kolonial melainkan pertanggungjawaban moral. Pada kongres tahun 1901 di Utrech (konvensi Utrech) partai sosialis banyak menuntut perbaikan kolonial.
Kembali pada politik Ethis yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda, sebenarnya kemunculan ide “Hutang Budi’ (istilah yang digunakan Van Deventer-Een Eereschuld) adalah reaksi atas Cultuurstelsel yang dicetuskan oleh Van den Bosch tahun 1830 untuk mengisi kekosongan kas negeri induk akibat pengeluaran untuk menumpas perlawanan pribumi. Culturstelsel yang dicetuskan oleh Van den Bosch sebenarnya merupakan perubahan sistem dari landrent oleh Raffles (Raffles telah melakukan defeodalisasi), oleh Van den Bosch sistem tanam paksa itu akan dikembalikan pada adat pribumi yang sudah ada. Kaum bangsawan feodal mulai “diperalat” oleh pemerintah kolonial untuk menggerakkan rakyat memperbesar produksi. Kekuasaan kaum bangsawan feodal ini diawasi oleh pegawai-pegawai Belanda dan dari hal ini akan tampak sistem pemerintahan tak langsung. yang paling jelas menjadi obyek dalam sistem tanam paksa ini adalah petani tradisional dimana ia selalu menjadi “kuda beban” disatu sisi dan “kambing hitam” disisi yang lain. Beban petani semakin komplek karena mereka harus memikul berbagai macam belasting, kerja wajib, penyerahan wajib dan sumbangan lain yang sangat melumpuhkan ekonomi petani. Cultuurstelsel ini memang memberikan sumbangan yang besar bagi kas negara kerajaan (sumbangan bagi kas kerajaan Belanda menurut isu batig slot atau sistem keuntungan bersih sebesar 825 juta gulden, sebuah angka yang fantastis!) dari kas negara ini maka ekspedisi-ekspedisi militer kedaerah pedalaman (theory of hinterland). Sungguh tragis dengan apa yang dialami bangsa kita pada waktu itu dimana hasil keringat mereka digunakan untuk menumpas gerakan perlawanan dari saudara-saudara mereka di tempat lain.
Seperti yang telah dikemukan didepan bahwa Culturstelsel mendapat tekanan dari kaum Ethisi karena menindas kesejahteraan kaum pribumi dan dengan dalih yang humanistis maka perlahan sistem ini dihapus (dimulai dengan lada tahun 1860, nila tahun 1865) , dengan dihapusnya sistem tanam paksa ini maka mulai muncul kelompok kapitalis liberal.
Politik Ethis mengusung tiga sila yaitu “irigasi, edukasi dan emigrasi”, apabila dilihat dari dasar pemikiran kaum Ethisi bahwa mereka menghendaki kesejahteraan penduduk pribumi dan kepentingan pribumi, hal ini tentulah sedikit melegakan. Namun kelegaan itu hanya sekejap saja karena pada dasarnya sistem hanya mengganti “nama” sedangkan kepentingan kolonial atau negeri induk tetap diutamakan, sebagaimana seperti yang dikatakan oleh salah seorang petinggi kolonial bahwa negeri jajahan ibarat gabus yang menjadi tempat mengapung negeri induk. Pelaksanaan tiga sila politik Ethis itu sendiri dalam prakteknya mengalami penyelewengan dan itu semua hanya ditujukan dalam kepentingan kolonialis. Irigasi yang seharusnya didistribusikan kepada perkebunan rakyat dan pemerintah pada prakteknya lebih diutamakan pada onderneming-onderneming pemerintah. Pabrik dan kantor dagang yang bermunculan membutuhkan pegawai baru yang profesional maka pemilik dari kantor dagang mendidik warga pribumi untuk menjadi pegawai mereka dengan gaji yang rendah. Emigrasi yang menghendaki pemerataan penduduk ternyata hanya digunakan oleh kolonialis untuk membuka daerah baru tentunya dengan segala paksaan dan ketidakmanusiawian yang lain.
Berbagai ketidakadilan yang menimpa petani bumiputera di-“potret’ dalam bentuk tulisan oleh seorang jurnalis pribumi bernama Mas Marco Kartodikromo dalam Sinar Djawa, dimana ia menulis bahwa para petani yang lahannya disewa oleh pemilik pabrik gula merasa tidak mendapatkan ganti rugi yang cukup, lahan petani itu hanya diberi harga f,66,-perbahu untuk 18 bulan.
Penjajahan bagaimanapun bentuknya tidak pernah sepenuhnya memperhatikan negeri perahannya walaupun dibalut dengan berbagai macam slogan yang manis namun tetap saja kepentingan kolonialis tetap diutamakan. Imbas dari kolonialis adalah adalah masyarakat bawah yang tidak mempunyai kekuatan dan selalu menjadi “kuda beban” bagi golongan diatasnya. Sekali lagi bahwa penjajahan dalam bentuk apapun tidak dapat diterima bahkan harus dilawan dan tidak pernah penjajahan itu memberi keuntungan bagi bangsa yang ditindas kalaupun ada, itu pun adalah hasil proses pemikiran dari local genius.
B. Penindasan masa Post Kolonialisme Asing
Sejak Proklamator Indonesia membacakan naskah proklamasi di Pegangasaan Timur 56 Jakarta seharusnya kita sudah MERDEKA sepenuhnya. Tidak ada lagi penindasan dan penghisapan, seharusnya bangsa kita sudah berproses untuk melaksanakan amanat Proklamasi yang agung itu yaitu kesejahteraan rakyat Indonesia sepenuhnya tanpa kecuali. Namun malang tidak dapat dielakkan karena keuatan asing masih belum rela “melepas” Indonesia maka mereka menggunakan metode yang pernah mereka lakukan sebelumnya yaitu menggunakan “agen-agen lokal” untuk melaksanakan keinginan mereka.
Pada bagian ini saya akan langsung meloncat ke era Orde Baru karena pertimbangan saya pada era Orde Lama -yang identik dengan Soekarno- model penghisapan baru ini belum parah karena perimbangan kekuatan politik saat itu yaitu PKI-Soekarno-Militer. Ketiga unsur ini mendominasi pada era Orde Lama. Penjelasan singkat adalah sebagai berikut:
• PKI.
Partai Komunis Indonesia mampu mendudukkan diri sebagai salah satu The Big Five Party pada Pemilu 1955. Pada tingkatan akar rumput program-program partai ini cukup “menyentuh” kepentingan rakyat kebanyakan pada saat itu. PKI juga memiliki organisasi-organisasi onderbouw berdasarkan profesi masing-masing anggota. Misalnya: Barisan Tani Indonesia (petani), Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (buruh), Himpunan Sarjana Indonesia (sarjana), Persatuan Pamong Desa Indonesia (pejabat desa), Lembaga Kebudayaan Rakyat (seniman) dll. Sebagai sebuah partai yang revolusioner dan anti imperialis maka partai ini menolak segala penindasan yang dilakukan kekuatan asing atau pejabat lokal maka tidak heran bahwa partai ini akan menemui “ajal”pada akhir 1965 karena sikap kritis mereka.

• Soekarno
Soekarno adalah figur sentral pada kurun waktu 1950-akhir 1965 karena pada kurun waktu ini bahasa politik Soekarno lebih vulgar. Ia adalah sosok teaterawan yang memiliki naskah besar dalam panggung Indonesia. Ia ingin membuat “negara teater baru” di luar teater global pada saat itu maka pada kurun waktu inilah Indonesia memilih hengkang dari PBB karena Soekarno ingin membentuk New Forces. Soekarno memposisikan dirinya sebagai penyeimbang kekuatan militer dan PKI
• Militer
Militer merupakan salah satu kekuatan penentu pada era Orde Lama dan lewat kekuatan inilah Orede Baru dibangun setelah kejatuhan Soekarno dan matinya Komunis. Militer diindikasi oleh beberapa pihak sebagai agen lokal dari kepentingan asing dan hal ini akan lebih terlihat jelas pada penjelasan selanjutnya.
Sekilas penjelasan diatas adalah sebagai pengantar sebelum masuk pada masa Orde Baru yang berkuasa selama lebih dari tiga dekade. Naiknya orde baru ke tampuk kekuasaan –dengan Soeharto sebagai ikon- harus dilakukan dengan berdarah-darah yaitu darah dan bangkai dari simpatisan Partai Komunis Indonesia serta tujuh perwira AD yang soekarnois. Soeharto sebagai penguasa baru mulai membuat jaringan dengan beberapa agen pemodal baik dari dalam maupun luar negeri. Usaha untuk mengamankan kekuasaan segera ia terapkan maka dimulailah pemberian “hadiah-hadiah politik” kepada segenap jendral dan beberapa eksponen angkatan ’66 yang “murtad” secara ideologi. Hadiah politik itu dapat berupa pangkat dan jabatan dalam lingkup kekuasaan atau kemudahan akses bisnis. Selama kurun waktu tiga puluh tahun itu terjadi ekspliotasi besar-besaran yang dilakukan oleh dinasti bisnis keluarga Soeharto dan koleganya, getah dari buah yang mereka makan akhirnya harus kita terima.
Penghisapan dan penindasan dalam berbagai aspek mulai ekonomi, politik, sosial dan budaya serta ideologi dilakukan oleh Orde Baru dibawah Soeharto secara sistematis. Hal yang telah berlangsung lama itu semakin memuncakkan keresahan dalam kalangan grass root dan kalangan intelektual. Puncak dari keresahan sosial itu akhirnya meletus dengan huru-hara dan proses turun tahta dari Soeharto yang telah berkuasa selama tiga puluh dua tahun.
Saat ini Indonesia telah memasuki masa transisi untuk menuju pada keadaan yang lebih baik namun setelah sewindu reformasi bergulir bukan kebaikan yang kita peroleh justru berbagai kesulitan baik dari faktor yang diakibatkan oleh manusia atau oleh alam. Indonesia pada saat ini sedang berada pada titik terendah karena kesalahan sistem penyelenggaraan negara yang telah berlangsung sedemikian lama dan seakan-akan kesalahan ini telah mem-“budaya”.
Perlukah Sebuah Revolusi?
Tuntutan dari kaum pekerja akan suatu masyarakat tanpa kelas bermula atau muncul pertama kali dari rasa benci mereka terhadap kelas-kelas bermilik atau golongan pemilik modal (kapitalis) dan pemilik alat produksi, pihak yang menampilkan tuntutan-tuntutan ini adalah para elite diantara kaum pekerjanya bukan orang-orang bawahannya (lumpenproletariat). Apabila “kebebasan” (liberty) menjadi slogan sentral dari revolusi borjuis maka “kesamaan” (equality) adalah konsep sentral dalam setiap gerakan kaum pekerja atau buruh.
Kaum pekerja merasakan sebuah ketidakmerataan (inequality) dalam semua bidang, seperti bidang pendidikan dimana setiap orang berhak untuk mendapatkan pengajaran dan ilmu pengetahuan yang sama namun setiap anak dari seorang pekerja miskin harus rela menahan “haus akan ilmu” karena pada orde globalisasi hanya orang-orang yang memiliki cukup uang untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan dijadikan sebagai lahan mencari uang bagi para oknum pendidik dengan dalih menaikkan mutu sekolah atau universitas mereka membuat kebijakan penaikan biaya pendidikan, dengan dalih kemandirian sebagai sebuah badan usaha maka pemerintah memotong subsidi pendidikan. Ketidakmerataan bidang ekonomi seperti kemudahan pemberian pinjaman usaha bagi industri-industri besar hanya karena koneksi keluarga atau teman dekat namun pemberian pinjaman usaha bagi industri-industri kecil begitu berbelit-belit karena para kreditur kurang percaya terhadap kemampuan industri kecil tersebut. Nikmatnya “kue pembangunan” yang seharusnya dapat dinikmati oleh segala lapisan masyarakat tanpa terkecuali ternyata hanya dinikmati oleh segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan.
Ketidakmerataan-ketidakmerataan seperti diatas akan membawa keadaan instabilitas, penuh kecurigaan, sehingga hal tersebut mendorong beberapa pihak untuk bergerak menuju suatu perubahan menyeluruh, perubahan yang fundamental mencakup segala struktur dan elemen negara, lembaga dan kepemimpinan nasional.
Perubahan tersebut akan membawa pada sebuah pembaharuan, entah dilakukan secara cepat dan drastis ataupun akan dilakukan secara bertahap. Tindakan pembaharuan ini akan menimbulkan gejolak tersendiri dalam masyarakat karena masyarakat itu sendiri akan terbelah menjadi dua yaitu masyarakat revolusioner pendukung perubahan dan masyarakat yang mendukung keadaan seperti semula.
Perubahan secara cepat sering diistilahkan dengan nama revolusi namun pengertian dari revolusi itu sendiri berbeda-beda dan banyak sekali isi yang diberikan pada term revolusi.
Tindakan-tindakan yang dapat dikatakan mirip dengan revolusi misalnya pembangkangan, kudeta, perang perjuangan, pemberontakan maka dari itu perlu diberikan sebuah batasan mengenai revolusi itu sendiri untuk membedakan dengan tindakan-tindakan seperti diatas. Revolusi dapat dikatakan sebagai perubahan dari dalam yang agak sekonyong-konyong dengan cara-cara kekerasan dan fundamental mengenai struktur sosio-politik, lembaga sosio-politik, dan kepemimpinan politik dalam masyarakat yang disertai juga perubahan fundamental mengenai ideologi politik, nilai-nilai serta norma-norma.
Dalam catatan sejarah mengenai beberapa peristiwa revolusi maka para ahli mengelompokkan revolusi itu dalam beberapa tipe. Revolusi itu sendiri memiliki beberapa tipe, antara lain:
• Jacquerie yaitu pemberontakan massa petani (peasants) yang spontan dan biasanya dilakukan atas nama penguasa tradisional. Tujuan dari revolusi ini terbatas yaitu untuk mengusir elite lokal atau elite nasional yang dianggap menyebabkan keadaan menjadi buruk, meskipun demikian revolusi ini dapat membawa perubahan sungguh-sungguh dalam struktur dan pada elite politik.
• Imam Mahdi atau Ratu Adil (millenarian rebellion) biasanya terdapat pada bangsa-bangsa “primitif”, mengandung aspek-aspek religius yang kuat. Seorang Nabi (Ratu Adil) membawa ajaran tentang dunia yang akan datang dan cara-cara untuk menuju kesana yang hal ini mengandung ciri-ciri yang bersifat melampaui kodrat dan tidak realistik. Hal ini juga berhubungan dengan pandangan dunia dan alam kepercayaan rakyat yang bersangkutan. Kesejahteraan yang diramalkan dapat berarti kembalinya jaman keemasan yang telah lampau atau tercipta jaman keemasan yang baru.
• Pemberontakan Anarkis dicirikan sebagai suatu gerakan yang timbul sebagai suatu keinginan untuk kembali ke jaman yang telah silam yang penuh romantik sebagai sebuah reaksi terhadap modernisasi.
• Revolusi Jacobin-komunis yaitu suatu perubahan fundamental yang hebat mengenai organisasi politik, struktur sosial, pengaturan hak milik ekonomi dan didominir oleh mitos orde sosial. Tipe seperti ini hanya dapat terjadi di negara sentralisasi kuat dan komunikasi yang baik sehingga pada akhirnya akan lahir sebuah orde sosial dan orde birokrasi yang lebih rasional. Tipe seperti ini terjadi pada Revolusi Perancis dan Revolusi Rusia.
• Perebutan kekuasaan oleh sekelompok orang yang telah bersepakat dan mereka dijiwai oleh ideologi oligarki mengenai sektor tertentu saja. Tipe ini hanya dapat disebut revolusi apabila kenyataannya mendahului gerakan massa dan membawa perubahan sosial. Seperti yang dilakukan G.A. Nasser di Mesir dan Fidel Castro di Kuba.
• Pemberontakan massa secara militer, berkembang di-abad 20, dimana perencana dan pemimpin dari revolusi ini adalah elite yang nekad. Gerakan ini dimulai dengan melakukan perang gerilya yang didukung oleh penduduk. Ini seperti yang terjadi di China dan Yugoslavia.
Tipe-tipe seperti diatas adalah sebagian kecil dari revolusi-revolusi yang pernah tercatat dalam sejarah walaupun tidak tertutup kemungkinan akan ada tipe-tipe revolusi yang lain yang terjadi.
Sebuah revolusi atau sebuah perubahan untuk tujuan pembaharuan yang terjadi dalam suatu negara pasti memiliki sebab-sebab mengapa revolusi itu sampai terjadi. Menurut Huntington, timbulnya revolusi pada negara berkembang tergantung pada:
a. Sejauh mana kelas menengah di kota seperti -kaum intelektual, golongan profesi, golongan borjuis- terasing dari orde yang ada.
b. Sejauh mana kaum tani terasing dari orde yang ada.
c. Sejauh mana golongan menengah kota dan kaum tani dapat bersatu yang tak hanya melawan musuh yang sama (common enemy) melainkan juga tujuan serta cita-cita yang sama.
Revolusi dalam negara berkembang hanya dapat terjadi apabila jarak sosial yang ada antara kaum menengah kota yang revolusioner dan kaum tani yang sama-sama revolusioner dapat dijembatani dan dapat ditemukan motivasi yang sama berdasarkan kesamaan tujuan.
Pelaku-pelaku dari sebuah gerakan revolusi dapat dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu:
1. kaum reformis dan realistis. Kaum ini berpendapat bahwa walaupun revolusi adalah perubahan secara cepat dan mendasar namun tetap dalam kendali akal sehat dan kepala dingin sehingga gerakan ini tetap bersifat konstruktif (dalam revolusi ini sendiri masih ada tempat untuk hukum, tata tertib serta diplomasi).
2. kaum ultra radikal. Kaum ini berpendapat bahwa revolusi benar-benar bersifat revolusioner apabila ia merupakan sebuah usaha penjungkirbalikan dan pendobrakan semua nilai-nilai lama hingga ke akar-akarnya dan diatas puing-puing itu didirikan sebuah “bangunan” yang sama sekali baru.

Sebuah Pertimbangan
Banyak pihak harus berpikir berulang kali untuk melakukan sebuah revolusi karena sebuah revolusi memerlukan banyak sekali pengorbanan tidak hanya hanya harta ataupun nyawa, maka untuk itu diperlukan perencanaan yang matang, pelaksanaan yang efektif tanpa banyak memakan korban. Apabila sebuah revolusi mengalami kegagalan maka tak terbayangkan berapa banyak korban yang jatuh dan sia-sia.
Revolusi akan diawali dengan sebuah krisis dalam masyarakat karena akan terdapat gesekan-gesekan dalam masyarakat yang revolusioner dan yang anti revolusi, untuk itu diperlukan sebuah persatuan nasional meliputi penyeragaman tujuan dan cita-cita dan hal itu dapat terwujud apabila telah mulai timbul kondisi kedaruratan nasional. Pada saat itu setiap orang akan sadar bahwa memang perlu ada perubahan menuju pada kondisi yang lebih baik dan pembaharuan yang tanpa memerlukan jatuh korban. Perlu juga dipikirkan apabila revolusi itu berhasil bagaimana tahap selanjutnya, bagaimana menjaga semangat revolusioner agar tidak luntur serta benarkah setelah revolusi kondisi akan semakin baik dari semula.
Suasana globalisasi yang melanda dunia, dimana pada abad ini dapat disebut sebagai abad kemenangan kapitalisme maka kita mau tidak mau harus ikut bermain didalamnya tetapi dalam “lingkaran globalisasi” semacam itu kita tidak boleh terlalu larut didalamnya, sebagai sebuah bangsa (makro) yang berdaulat dan sebagai seorang manusia (mikro) kita harus tetap dapat menunjukkan jatidiri kita sebenarnya sebagai sebuah bangsa atau seorang insan Indonesia yang memiliki kepribadian kerakyatan dan kegotong-royongan. Di setiap tempat terjadi ketidakmerataan (inequality), dimana-mana timbul keresahan sosial, dimana-mana timbul kecemburuan sosial karena dalamnya perbedaan antara “golongan berpunya” (the Have) dan “golongan tidak berpunya”. Pada saat itu rakyat akan bangkit mendobrak dinding globalisasi yang identik dengan ketidakadilan, penuh dengan kecurangan, entah itu dengan kekerasan revolusi ataupun dengan pembaharuan yang damai (peacefull reform) dan hal itu dilakukan dengan sebuah tujuan yaitu keadilan, kesejahteraan, pemerataan (equality). Berbagai peristiwa revolusi telah tercatat dalam tinta emas ataupun tinta hitam dan tidak ada salahnya kita sebagai manusia berakal berusaha untuk mengerti terlebih dahulu tentang sejarah revolusi atau pembaharuan yang telah ada sebagai pertimbangan kita terhadap tindakan apa yang akan kita lakukan dikemudian hari. Didalam sejarah, kita akan belajar menghadapi kenyataan yang kurang menyenangkan dan tidak pasti. Dan sejarah juga bermaksud mengantarkan manusia pada kejujuran dan kebijaksanaan karena sejarah sendiri menghendaki gerak progresif ke depan dengan masa lampau sebagai “kaca”. Selayaknya perlu dipertimbangkan kembali mengenai sebuah revolusi ataupun pembaharuan mengingat akibat-akibat yang akan timbul dikemudian hari. Namun itu semua akan kembali pada kita apakah akan menuju perubahan dengan kekerasan atau kedamaian?. Silahkan pilih!!!
“dan lumpur yang mereka pakai untuk perekat batubata”(Genesis II)
$$$$$$$\\\\\\$$$$$$$



DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Aidit, D.N. Tentang Marx. Jakarta: Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, 1964.

Blowers, Andrew dan Graham Thompson. Ketidakmerataan, Konflik dan Perubahan.
terj; Paul Sitohang. Jakarta: UI Press, 1983.

J.Th Lindblad (eds). Fondasi Historis Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Panitia Konferensi Internasional. Denyut Nadi Revolusi Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1997

Schoorl, J.W. MODERNISASI Pengantar Sosiologi Perubahan Negara-Negara Sedang Berkembang. Terj; R.G Soekadidjo. Jakarta: Gramedia, 1982.

Suhartono. Serpihan Budaya Feodal. Yogyakarta: Agastya Media, 2001.

Van der Meulen, W.J. Ilmu Sejarah dan Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1987.



ARTIKEL

Sinar Djawa, 26 Maret 1918. Marco Kartodikromo, “Apakah Pabrik Gula Itu Racun Buat Bangsa Kita?”.

Selasa, 17 Februari 2009

DIBAWAH PENINDASAN

oleh: Arik
Sebelum masuk dalam tulisan ini saya akan lontarkan pertanyaan, masih adakah martabat bagi bangsa yang terjajah? Saya yakin jawaban dari sebagian besar orang pasti akan menjawab: tidak pernah ada!. Tidak pernah ada penjajahan yang sepenuhnya memperhatikan martabat negara yang menjadi negara jajahannya.
Indonesia merupakan salah satu bangsa yang mengalami bentuk penjajahan yang panjang dan eksploitatif, penjajahan yang dilakukan tidak hanya oleh bangsa Eropa (Portugis, Inggris, Belanda-VOC dan pemerintah kerajaan Belanda) tetapi juga oleh sesama bangsa Asia sendiri yaitu bangsa Jepang dengan fasis-militerisnya yang menggurita di wilayah Asia Tenggara.
Melihat film Max Havelaar maka terbayang mengenai suatu masa pada masa kolonial Belanda yaitu masa Politik Ethis, dimana pada masa ini terjadi “perubahan sikap” dari pemerintah kolonial terhadap penduduk pribumi. Kemunculan politik Ethis didorong oleh beberapa kaum Ethisi yang menghendaki kesejahteraan pribumi, pada pemikiran kaum Ethisi ini tercermin pemikiran-pemikiran humanistis. Ide “balas budi“ ini sebenarnya mulai muncul di Netherland akibat dari perkembangan pemikiran di Eropa Barat. Sistem kepartaian di Netherland pada tahun 1870 menunjukkan komposisi yang sedang berubah untuk menuju dalam iklim demokratisasi yang semakin maju, pada saat ini pula liberalisme yang diusung oleh partai liberal mulai mundur. Pada waktu kemunduraan partai liberalis inilah kemudian partai-partai yang berbasis agama (partai roma katolik, partai anti revolusioner, partai kristen historis) mulai menunjukkan kekuatan politiknya.1 Tahun 1890-an terbentuk parrtai baru yaitu partai sosialis, mengenai prinsip dasar partai ini dapat disebutkan bahwa tujuan akhir politik kolonial seharusnya meningkatkan kesejahteraan dan perkembangan moral penduduk pribumi, evolusi ekonomi bukannya eksploitasi kolonial melainkan pertanggungjawaban moral. Pada kongres tahun 1901 di Utrech (konvensi Utrech) partai sosialis banyak menuntut perbaikan kolonial.
Kembali pada politik Ethis yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda, sebenarnya kemunculan ide “hutang budi’ (istilah yang digunakan Van Deventer-Een Eereschuld) adalah reaksi atas Cultuurstelsel yang dicetuskan oleh Van den Bosch tahun 1830 untuk mengisi kekosongan kas negeri induk akibat pengeluaran untuk menumpas perlawanan pribumi.2 Culturstelsel yang dicetuskan oleh Van den Bosch sebenarnya merupakan perubahan sistem dari landrent oleh Raffles (Raffles telah melakukan defeodalisasi), oleh Van den Bosch sistem tanam paksa itu akan dikembalikan pada adat pribumi yang sudah ada.3 Kaum bangsawn feodal mulai “diperalat” oleh pemerintah kolonial untuk menggerakkan rakyat memperbesar produksi. Kekuasaan kaum bangsawan feodal ini diawasi oleh pegawai-pegawai Belanda dan dari hal ini akan tampak sistem pemerintahan tak langsung. 4 yang paling jelas menjadi obyek dalam sistem tanam paksa ini adalah petani tradisional dimana ia selalu menjadi “kuda beban” disatu sisi dan “kambing hitam” disisi yang lain.5 Beban petani semakin komplek karena mereka harus memikul berbagai macam belasting, kerja wajib, penyerahan wajib dan sumbangan lain yang sangat melumpuhkan ekonomi petani. Cultuurstelsel ini memang memberikan sumbangan yang besar bagi kas negara kerajaan (sumbangan bagi kas kerajaan Belanda menurut isu batig slot atau sistem keuntungan bersih sebesar 825 juta gulden, sebuah angka yang fantastis!) dari kas negara ini maka ekspedisi-ekspedisi militer kedaerah pedalaman (theory of hinterland). Sungguh tragis dengan apa yang dialami bangsa kita pada waktu itu dimana hasil keringat mereka digunakan untuk menumpas gerakan perlawanan dari saudara-saudara mereka di tempat lain.
Seperti yang telah dikemukan didepan bahwa Culturstelsel mendapat tekanan dari kaum Ethisi karena menindas kesejahteraan kaum pribumi dan dengan dalih yang humanistis maka perlahan sistem ini dihapus (dimulai dengan lada tahun 1860, nila tahun 1865)6, dengan dihapusnya sistem tanam paksa ini maka mulai muncul kelompok kapitalis liberal.
Politik Ethis mengusung tiga sila yaitu “irigasi, edukasi dan emigrasi”, apabila dilihat dari dasar pemikiran kaum Ethisi bahwa mereka menghendaki kesejahteraan penduduk pribumi dan kepentingan pribumi, hal ini tentulah sedikit melegakan. Namun kelegaan itu hanya sekejap saja karena pada dasarnya sistem hanya mengganti “nama” sedangkan kepentingan kolonial atau negeri induk tetap diutamakan, sebagaimana seperti yang dikatakan oleh salah seorang petinggi kolonial bahwa negeri jajahan ibarat gabus yang menjadi tempat mengapung negeri induk. Pelaksanaan tiga sila politik Ethis itu sendiri dalam prakteknya mengalami penyelewengan dan itu semua hanya ditujukan dalam kepentingan kolonialis. Irigasi yang seharusnya didistribusikan kepada perkebunan rakyat dan pemerintah pada prakteknya lebih diutamakan pada onderneming-onderneming pemerintah. Pabrik dan kantor dagang yang bermunculan membutuhkan pegawai baru yang profesional maka pemilik dari kantor dagang mendidik warga pribumi untuk menjadi pegawai mereka dengan gaji yang rendah. Emigrasi yang menghendaki pemerataan penduduk ternyata hanya digunakan oleh kolonialis untuk membuka daerah baru tentunya dengan segala paksaan dan ketidakmanusiawian yang lain.
Berbagai ketidakadilan yang menimpa petani bumiputera di-“potret’ dalam bentuk tulisan oleh seorang jurnalis pribumi bernama Mas Marco Kartodikromo dalam Sinar Djawa, dimana ia menulis bahwa para petani yang lahannya disewa oleh pemilik pabrik gula merasa tidak mendapatkan ganti rugi yang cukup, lahan petani itu hanya diberi harga f,66,-perbahu untuk 18 bulan.7
Penjajahan bagaimanapun bentuknya tidak pernah sepenuhnya memperhatikan negeri perahannya walaupun dibalut dengan berbagai macam slogan yang manis namun tetap saja kepentingan kolonialis tetap diutamakan. Imbas dari kolonialis adalah adalah masyarakat bawah yang tidak mempunyai kekuatan dan selalu menjadi “kuda beban” bagi golongan diatasnya. Sekali lagi bahwa penjajahan dalam bentuk apapun tidak dapat diterima bahkan harus dilawan dan tidak pernah penjajahan itu memberi keuntungan bagi bangsa yang ditindas kalaupun ada, itu pun adalah hasil proses pemikiran dari local genius. Sebagai penutup maka saya akan lontarkan kembali pertanyaan pakah kita pernah belajar dari sejarah? Sayang sekali, tidak pernah, karena kalau kita mau belajar dari sejarah maka hidup kita akan sejahtera tidak seperti sekarang ini bukan?.
***********
makalah ini disajikan dalam diskusi film Max Havelaar. Bertepatan pada acara peringatan 39 tahun wafatnya Pater Driyarkara, SJ di wisma mahasiswa Driyarkara tanggal 2 Maret 2006

koordinator Forum Komunikasi Sejarah (FOKUS)
1)Partai agama ini menekankan bahwa Hindia Belanda harus dibuka untuk misi keagamaan, meskipun begitu ternyata mereka juga ditunggangi oleh kaumapitalis. Slogan yang mereka pakai adalah perlindungan hak kaum pribumi. Pada waktu ini terihat suatu gerakan penyebaran agama dan misi pengadaban (civilizing mission). Sartono Kartodirdjo. Nasionalisme dan kolonialisme di Indonesia pada abad XIX dan abad XX. Lembaran Sedjarah. No: 8 Juni 1972.
2)Sebut saja Perang Jawa 1824-1830, Perang Padri 1831-1839, Perang Aceh 1874-1904
3)Menurut Raffles tidak ada pemilikan tanah individual dan semua tanah adalah milik negara, Van den Bosch melakukan modifikasi bahwa tanah itu dikembalikan pada rakyat bumiputera namun pengembalian itu disertai beban yakni petani yang mendapat atau menguasai tanah wajib menanami tanah dengan tanamn produksi yang laku dipasaran dunia atau kewajiban kerja di onderneming pemerintah.
4)Para bangsawan feodal mendapat gaji berupa tanah maka mereka ituu seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Maka tak heran bahwa ada ungkapan Jawa yang berbunyi; “aksara jawa nek dipangku, mati”, ungkapan ini menggambarkanbangsawan feodal jawa bahwa mereka telah dibutakan oleh hadiah dari kolonialis Belanda sehingga mereka hanya mampu berangguk-angguk.
5)Suhartono, “Kuda Beban “ dan “Kambing Hitam”: Potret Petani. Dalam Suhartono. Serpihan Budaya Feodal. Yogyakarta: Agastya media, 2001. hal 108
6)A.M. Djuliati Suroyo. Penanaman Negara di Jawa dan Negara Kolonial. Dalam J.Th Lindblad (eds). Fondasi Historis Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. hal 116-128
7)Marco Kartodikromo, “Apakah Pabrik Gula Itu Racun Buat Bangsa Kita?”. Sinar Djawa, 26 Maret 1918