Jumat, 16 Januari 2009

BERBAHASA JAWA???, SIAPA TAKUT!!!!

Oleh : Arik

Seorang bocah laki-laki umur 14 tahun menyapa seorang laki-laki tua dalam bahasa jawa ngoko,”piye pak kabare?kok ra tau ketok?”. Ucapan anak ini didengar oleh ibunya, sontak ibunya menghardik, “eeeeh, sopo sing ngajari karo wong tuwa ra basa?kaya wrekudara wae! ayo, njaluk ngapura karo pakdhe!”.

Petikan dialog diatas adalah sebagian dari sekian banyak fenomena berbahasa Jawa yang terjadi di masyarakat kita. Bahasa jawa yang notabene adalah bahasa lokal terbesar penggunanya di Indonesia, kata beberapa orang sedang dalam keadaan krisis! Tapi benarkah hal itu?adakah yang salah dalam bahasa jawa?dalam pendidikankah?atau memang harus demikian yang dialami bahasa jawa?. Tulisan ini hanya sebuah lontaran pendapat sebagai pelengkap Sarasehan Jumat Kliwonan di Bojawi.

Bahasa Jawa, entah sudah berapa abad ia digunakan oleh sebagian masyarakat nusantara, khususnya bangsa jawa, untuk berkomunikasi baik dalam kegiatan ber-ekonomi, ber-politik, ber-budaya. Sejarah panjang bahasa Jawa dapat ditelisik dari beberapa penemuan artefak yang menunjukkan pemakaian bahasa Jawa. Prasasti pertama adalah berangka tahun delapan ratus lima puluh masehi, prasasti ini menggunakan bahasa Jawa kuno. Periodisasi penggunaan bahasa Jawa dapat dibagi menjadi empat periode yaitu:
1.periode bahasa Jawa kuno
2.periode bahasa Jawa tengahan
3.periode bahasa Jawa baru
4.periode bahasa Jawa modern
periode bahasa Jawa Kuno dipergunakan sejak abad delapan hingga masa pra majapahit, kemudian bahasa Jawa Tengahan dipakai pada jaman Majapahit hingga masuknya Islam, lalu bahasa Jawa Baru dipakai pada saat adanya pengaruh Islam dan bangsa Barat, dan bahasa Jawa Modern adalah bahasa jawa yang sampai ke tangan kita hingga hari ini. Perkembagan bahasa jawa ini paling dapat dilihat dan ditemui adalah mengenai hasil karya sastranya. Hasil karya sastra pada periode bahasa Jawa Kuno misalnya bagian cerita (parwa) dari epik Mahabharata, lalu pada masa bahasa Jawa Tengahan dan Jawa Baru masih banyak prosa (gancaran) dan puisi (tembang) yang bersifat keraton sentris, berdasar mitologi (namun ada beberapa karya sastra jawa menunjukkan unsur religius). Sedangkan karya sastra Jawa Modern sudah meninggalkan unsur keraton sentris, mitologi dan mulai menyentuh fenomena sosial. Perkembangan bahasa Jawa ini selalu beriringan dengan karya sastra yang dihasilkannya, semakin baik perkembangan bahasa Jawa maka makin meningkat pula karya sastra berbahasa Jawa baik dari segi kualitas maupun kuantitas (bahasa Jawa dan karya sastra Jawa adalah manunggal/menyatu).

Kembali pada masalah awal bahwa muncul pendapat bahasa jawa dalam masa krisis, bahasa Jawa sudah ditinggalkan penggunanya, bagi saya pendapat ini adalah tidak benar. Inti dari bahasa jawa itu sendiri tidak akan hilang karena sifat bahasa Jawa ini sendiri yang supel. Sebagaimana ia mampu bertahan sejak abad kesembilan hingga sekarang abad dua puluh satu.

Persoalan selanjutnya adalah bagaimana mempertahankan ke-alot-an bahasa jawa ini. Pertama adalah mengenai pendidikan. Ya, pendidikan ini dapat dilakukan secara formal di intitusi sekolah maupun secara informal di dalam keluarga. Pendidikan bahasa Jawa telah dilakukan di institusi pendidikan dari jenjang dasar hingga menengah (meskipun porsi sedikit tapi ora opo-opo, sing penting isih diajarke, kuwi wis bejo). Yang terpenting adalah pendidikan lewat keluarga karena didalam keluarga inilah interaksi antara orang tua dengan anak-anak berlangsung intensif. Proses pembiasaan berbahasa Jawa penting karena sedikit demi sedikit anak akan mengikutinya. Lalu keteladanan dari orang tua untuk berbahasa jawa juga tak kalah penting.

Kedua, adalah mengenai akses sosialisasi bahasa Jawa. Kita tidak dapat menyalahkan globalisasi atas ke-krisis-an bahasa Jawa ini, yang terpenting bagaimana kita “membonceng” dari arus globalisasi ini untuk mengembangkan bahasa Jawa. Bahasa Jawa dapat dikembangkan dengan teknologi komunikasi saat ini misalnya dengan adanya situs-situs internet berbahasa Jawa. Lalu sosialisasi ilmu pengetahuan yang ditulis oleh ilmuwan-ilmuwan Jawa pada masa lalu yang terdapat pada media dluwang dan lontar, dengan aksara jawa dapat ditransliterasi dengan huruf latin. Transliterasi dari aksara jawa, dalam manuskrip kuna, ke dalam aksara latin akan memudahkan bagi masyarakat awam mengetahui isi dari sebuah manuskrip.

Ketiga yang penting adalah kemauan kita sendiri untuk merasa handarbeni lalu hamemayu dari bahasa Jawa itu sendiri. Kebanyakan dari kita merasa malas untuk menggunakan bahasa jawa (malas apa gengsi ya?). Paling tidak untuk berbicara ngoko pun itu sudah cukup untuk melestarikan bahasa jawa itu sendiri, wis bejo iso ngoko!!.
Hal yang tidak disadari oleh beberapa kalangan adalah mengenai keuntungan menguasai bahasa Jawa apalagi aksara jawa. Pengalaman dari saya adalah pada saat melakukan penelitian di pedesaan. Berkali-kali saya menjadi juru bicara dari teman-teman yang tidak memahami bahasa jawa. Keuntungan ini bukan berdasar materi semata namun kepuasan batin dalam nguwongke seorang narasumber. Misalnya pada saya melakukan penelitian mengenai peristiwa 65, seorang narasumber berkata kepada saya, “Mas, kalo njenengan bertanya kepada saya pake bahasa jawa apalagi kok kromo, saya merasa seneng banget karena saya merasa diuwongke. Kebanyakan beberapa peneliti bertanya kalih kulo ngagem bahasa indonesia. Ini mengingatkan saya pada saat saya di-screening dulu pada saat gestok, seolah-olah kalo seorang peneliti itu bertanya kepada saya pake bahasa indonesia itu sama dengan interogrator saya dulu pas di kamp.”

Lontaran pendapat diatas akan semakin hangat dan lengkap dengan adanya pendapat-pendapat lain dari saudara-saudara di sini sehingga sarasehan jumat kliwonan ini akan semakin mendapat pencerahan. Maturnuwun.

MERAJUT MEMORI PARA EKSIL

Oleh : Arik

Pada sebuah siang, empat puluh tahun yang lalu, Sugiman --sehari-hari adalah petani-- yang sepulang dari sawah disodori secarik surat oleh istrinya, isi dari surat itu adalah sebuah perintah dari kepolisian Ambarawa untuk menghadap ke kantor. Kemudian ia bersama kedua kawannya yang juga mendapatkan surat serupa segera berangkat ke kantor polisi Ambarawa. Setiba disana sudah berkumpul; banyak orang, segera ia menemui petugas polisi yang ada disitu serta menunjukkan surat perintah yang tempo hari ia dapatkan. Baru setelah itu, Sugiman segera tahu bahwa ia diminta menghadap ke kantor polisi adalah untuk ditahan dengan tuduhan terkait dengan peristiwa 65 di Jakarta.

Mulai hari itu maka Sugiman mengawali hari-hari panjangnya sebagai seorang tahanan politik tentunya dengan meninggalkan seorang istri dan tiga orang anak yang masih kecil, yang tentunya dalam keluarga kecil ini masih membutuhkan sesosok ayah bagi anak-anak dan seorang suami bagi sang istri. Namun perjalanan hidup manusia memang tidak dapat diputar kebelakang, kehidupan manusia dapat berubah secara drastis. Selama masa dalam dalam kamp tahanan, Sugiman melalui beberapa tahap interogasi dengan tuduhan bahwa ia ikut dalam peristiwa pembunuhan para jendral AD di Jakarta pada awal Oktober 1965. Tentunya sebagai petani biasa –juga anggota BTI- di daerah pelosok maka ia berusaha mengelak dari tuduhan tersebut, “opo maneh mateni jendral, wong ndelok pojoke Jakarta wae durung tau.” begitu ujarnya, namun justru jawaban kasar yang ia terima dari interogator.

Petualangan sebagai seorang tahanan politik dimulai dari kamp Beteng Ambarawa, kemudian gedung GRIS Salatiga, kemudian dipindah ke kamp Taman Harapan Salatiga kemudian Nusakambangan dan terakhir di Pulau Buru hingga bebas tahun 1977 (termasuk dalam gelombang I).

Cerita lain adalah dari Suhari yang juga seorang tahan politik tahun 65. Pekerjaan sehari-hari bagi Suhari adalah seorang tukang, pada suatu ketika ia bekerja pada seorang kepala desa dan dari sini kisah pilu itu berawal. Suatu siang ia bersama ketiga temannya yang sedang bekerja dirumah kepala desa itu didatangi polisi, polisi tersebut meminta mereka mencangkul tanah dibelakan rumah tepat dibawah sebuah pohon karena konon –menurut polisi tersebut- bahwa ditempat itu ditanam sebuah tempat buku atau tulisan yang disimpan kepala desa yang terinidasi sebagai PKI itu. Setelah tempat buku yang berbentuk kwali itu dikeluarkan maka mereka segera disuruh membawa kwali itu ke kantior polisi. Mereka kemudian berangkat ke kantor polisi sesampai disana ia didaftar sebagai anggota tahanan –hidup manusia dapat berubah drastis- politik yang tersangkut peristiwa 1965. Kisahnya sebagai tahanan politik terus berjalan hingga tahun 1978 yaitu tahun dimanan ia bebas dari pulau Buru.

*****######*****

Kedua cerita diatas adalah salah satu kisah dari jutaan kisah pilu tahanan politik yang ada di Indonesia yang terkait dengan peristiwa 1965. mereka, belasan tahun menjadi tahana politik, mendapatkan tuduhan yang tidak berdasar, mengalami tekanan fisik dan mental, harus tinggal di satu kamp ke kamp yang lain, harus berpisah dengan sanak saudara, berpisah dengan istri dan anak-anak mereka. Bagaimana mudahnya hidup manusia berubah tanpa tahu kapan perubahan itu datang, entah berubah ke keadaan yang lebih baik atau malah sebaliknya. Bagaimana secara tiba-tiba seorang ayah harus dipisahkan dari anak-anaknya, seorang ibu dipisahkan dari suami dan anak serta bagaimana seorang anak harus berpisah dari orang tuanya.

Setelah empat puluh satu tahun beranjak dari tahun 1965 maka perubahan sudah nampak, “angin demokrasi telah berhembus dengan kencang ke Timur.....”(ujarku dalam hati). Pada masa kini orang sudah diajak untuk berpikir kritis begitu pula tahanan-tahanan politik yang dahulu mulutnya “di-grendhel” oleh aturan-aturan. Jalinan memori yang kusut itu mulai tertata dengan rapi, benang-benang yang berwarna-warni itu telah menjadi sebuah kenampakan harmonis sebagai pertanda perputaran jaman.
Kini, sejarah dengan segala pernik-perniknya harus mampu mendudukkan diri dalam perubahan yang ada di Indonesia khusunya menngenai lembaran samar peristiwa 1965. Sejarah bukan lagi otoritas penguasa tapi history from below mulai menduduki tempat terhormat. NUWUN..GRACIAS..TABIK

Rabu, 14 Januari 2009

BHP=KEMANDIRIAN KAMPUS???

BHP = KEMANDIRIAN KAMPUS???????

Pendidikan dan Hegemoni Budaya Kapitalisme

Pemerintah berencana untuk memprivatisasi perguruan-perguruan tinggi di Indonesia, dimulai dengan empat PTN yaitu Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Rencana ini harus ditanggapi secara serius, karena bakal mau tidak mau kita akan terkena dampaknya. Sudahkah kita memikirkannya? Atau jangan-jangan sama sekali belum tahu? Tentu kewajiban bagi Rektorat untuk mensosialisasikan hal tersebut kepada seluruh sivitas akademika, dan melakukan dialog yang melibatkan mahasiswa. Kita tidak bisa diam berpangku tangan membiarkan orang-orang menentukan hidup kita, yang sangat mungkin mengandung maksud-maksud terselubung untuk kepentingan golongannya sendiri.

Pendidikan sebagai sebuah pranata sosial berfungsi melestarikan kebudayaan antargenerasi. Kebudayaan, dengan sendirinya merupakan produk interaksi sosial, di mana di dalamnya saling jalin faktor-faktor ekonomi, politik bahkan pertahanan keamanan. Masyarakat bukan sebuah benda mati yang inert, tetapi sistem yang dinamik. Kampus dan sekolah berada di tengah masyarakat yang bergejolak (kadang evolusioner, namun tak jarang muncul dalam bentuk letupan-letupan revolusi). Maka pendidikan tidak mungkin lari dari persoalan-persoalan sosial, betapapun diklaim bahwa warga kampus memiliki keunikannya sendiri sebagai bagian dari komunitas intelektual.
Kebudayaan yang hidup di kampus tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan yang menghegemoni (mendominasi paling kuat) masyarakat. Artinya, sistem pendidikan yang diberlakukan oleh suatu rejim mencerminkan tipe kebudayaan yang ingin dilestarikan oleh rejim sebagai otoritas hegemoni. Di sinilah kita bisa memahami letak rencana privatisasi ITB sebagai sebuah keputusan politik yang dilatari oleh cara pandang dan kepentingan tertentu. Apa kepentingan tersebut? Tidak lain adalah industrialisasi, motor pembangunan nasional yang lebih sering menguntungkan kalangan pemilik modal (kapital) ketimbang rakyat kebanyakan. Untuk mengamankan kepentingan para pemodal, pemerintah menggunakan alat-alat rejim, mulai dari parlemen, peradilan (yudikatif), regulasi-regulasi pemerintah, polisi, tentara, lembaga-lembaga agama dan termasuk lembaga pendidikan. Maka jangan heran mengapa pemerintah berusaha sekuat mungkin mencegah aksi-aksi kaum buruh menuntut hak-haknya, karena itu berarti mengancam kepentingan kapitalis yang selama ini menghidupi napas penguasa. Demo-demo mahasiswa yang berujung tindakan brutal polisi dan tentara menunjukkan upaya rejim membendung radikalisasi massa rakyat.
Bisa dikatakan setiap rejim menyimpan ketakutan terhadap aksi radikal mahasiswa. Baru-baru ini di Iran demo mahasiswa pro-demokrasi ditindas dengan brutal oleh polisi dan tentara pengawal revolusi. Mahasiswa berpotensi membawa kesadaran politik kepada rakyat melalui aksi-aksi massa dan gerakan bawah tanahnya. Untuk itulah rejim berusaha membatasi gerak-gerik mahasiswa di dalam kampus (melalui aparat pendidikan) dan secara sistemik dengan kebijakan pendidikan. Salah satu kebikan itu adalah dengan memberlakukakn system NKK/BKK yang diberlakukan pada tahun 1975. Kemudian dengan pengetatan kurikulum menjadi 144 SKS bisa dibaca sebagai upaya untuk menjinakkan mahasiswa sehingga waktunya tersedot untuk akademis saja. Mahasiswa dipacu untuk cepat-cepat lulus. Pemerintah mempunyai dua keuntungan: Pertama, mahasiswa tidak bisa banyak tingkah; kedua, lulusan perguruan tinggi makin cepat terserap ke dalam sistem industri. Nah, di industri apa sih posisi kita? Pemilik pabrik? Manajer? Satu dua mungkin iya, tapi mayoritas hanya akan menjadi buruh-buruh terampil belaka, di mana hasil kerja dan kecakapan kita diupah dengan angka-angka yang tidak bisa kita tentukan sendiri.
Pendidikan tidak pernah steril dari motif-motif politik dan ekonomi. Di bangku SD hingga SLTA diajarkan indoktrinasi nasionalisme-chauvinistik melalui pelajaran PSPB. Pelajaran sejarah, kita tahu persis hanya mengikuti versi pemerintah. Banyak fakta-fakta sejarah yang disembunyikan. Apakah kita masih ingat kejadian tahun 2005 di sleman Yogyakarta? Pada waktu itu buku sejarah di bumi hangus kan oleh pemerintah setempat. Sebenarnya ini bsa menjadi wacana terbesar dalam masyarakat pada umum nya, pada mahasiswa sejarah pada khusus nya. Ini adalah salah satu cara pemerintah untuk melakukan amnesia terhadap sejarah.
Privatisasi bukan Berarti Otonomi Kampus
Perguruan-perguruan tinggi di Indonesia sendiri dikenal lemah kecakapan akademiknya. PTN/PTS tidak mampu menghasilkan karya-karya penelitian bermutu yang berguna bagi pengembangan industri dalam negeri. Jalan pintasnya, industri membeli teknologi dari negara maju, yang berarti ketergantungan terhadap kekuatan modal internasional. Akibatnya PTN/PTS pun tidak mempunyai daya tawar sama sekali terhadap industri dan terpaksa menyesuaikan diri dengan kepentingan industri, dengan memfungsikan dirinya semata-mata pemasok tenaga kerja melimpah dan murah. Pemerintah mengekalkan hegemoni sistem itu melalui kewenangan legalnya untuk memaksakan kebijakan pendidikan.
Rencana privatisasi kampus berarti pemerintah akan mengurangi anggaran pendidikan. Kampus harus membiayai dirinya sendiri. Alasannya, banyak perguruan tinggi yang sudah maju hingga patut dilepaskan pemerintah. Selama kontrol dari mahasiswa dan masyarakat tidak berfungsi, tidak tertutup kemungkinan kampus akan menaikkan SPP tanpa banyak protes. Kurikulum dan peraturan-peraturan lainnya akan semakin otoriter dipaksakan kepada mahasiswa.
Intervensi pemodal ke dalam kampus makin besar, didesak oleh kebutuhan kampus untuk membiayai dirinya. Kampus akan semakin jauh dari fungsinya sebagai lembaga pendidikan, berubah menjadi industri pendidikan yang komersial, semata-mata berfungsi sebagai pabrik bagi “bahan baku” tenaga kerja yang terampil.
Privatisasi tidak sejalan dengan otonomisasi kampus. Dalam privatisasi, mahasiswa sama sekali diabaikan. Hak mahasiswa untuk mengorganisasi diri tidak disinggung-singgung. Hubungan antara mahasiswa dan aparat pendidikan tidak dijelaskan. Padahal, justru mahasiswa yang paling terkena dampak kebijakan tersebut, baik selama kuliah maupun setelah bekerja. Sangat mendesak penguatan daya tawar mahasiswa terhadap Rektorat melalui organisasi mahasiswa yang solid dan mengakar ke bawah, dalam arti betul-betul konsisten memperjuangkan tuntutan mahasiswa sehingga dapat menarik simpati massa mahasiswa. Perjuangan untuk kepentingan akademik ini tidak bisa dipisahkan dari perjuangan dalam spektrum yang lebih luas, yaitu menentang sistem pendidikan kapitalistik yang tidak memanusiakan. Pendidikan yang hanya menghasilkan sekrup-sekrup mesin industrialisasi untuk memupuk kekayaan kalangan kapitalis. Pendidikan macam ini tidak bisa dibiarkan menelan kita. Kontrol dari mahasiswa dan masyarakat luas harus dihidupkan.
Privatisasi tidak boleh dilakukan sebelum prasyarat-prasyarat partisipasi politik tersebut tumbuh. Kebebasan berorganisasi bagi mahasiswa (serikat mahasiswa) dan staf pendidikan (serikat buruh pendidikan), kontrol mahasiswa dan kedewasaan dari kalangan penentu kebijakan pendidikan sendiri. Prasyarat tersebut hanya bisa dihidupkan dengan mengajukan tuntutan-tuntutan seperti kesamaan kesempatan bagi semua lapisan masyarakat untuk memperoleh pendidikan tinggi (termasuk anak-anak buruh, nelayan, petani, dsb) yang selama ini didominasi lapisan menengah, dan penurunan biaya pendidikan. Idealnya, pendidikan gratis. Dengan kekayaan alam yang melimpah, sudah sewajarnya masyarakat memperoleh hak berupa fasilitas pendidikan modern dan murah (gratis!). Tuntutan pembebasan biaya pendidikan tidak lain adalah bagian dari perjuangan menciptakan tatanan demokrasi sosial (di dalamnya tercakup demokrasi politik, ekonomi dan kebudayaan).
Di penghujung 2008, dunia pendidikan kita mendapatkan berita yang menggembirakan dan menyedihkan. Berita yang menggebirakan itu adlah telah disetujuinya anggaran pendidikan kita tahun 2009 sebesar 20%, namun belum lagi kita sempat menikmati kegembiraan itu di bulan desember tiba-tiba RUU-BHP disetujui juga oleh DPR. Ini menjadi hal yang membingungkan buat kita, kenapa demikian? Karena disaat pemerintah ingin mewujudkan amanat UUD45, namun mereka pun meliberalisasikan pendidikan dengan menjadikan RUU-BHP menjadi sebuah UU. Sebenarnya hal tersebut telah lama direncankan, UU-BHP hanyalah sebuah pejelasan dari keinginan pemerintah untuk liberalisasi dunia pendidikan.
Apakah hal ini di sadari oleh mahasiswa? Hanya sebagian kecil mahasiswa yang sadar, selebihnya banyak mahasiswa yang lebih bersifat individualis. Seandainya mereka sadar awal adanya pendidkan di Indonesia itu hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan pemerintah colonial belanda mendapatkan pegawai yang murah. Jika kita banding kan dengan kondisi pendidkan Indonesia saat ini bukankah itu sama saja?mulai dari akses pendidkan hanya bagi orang yang mempunyai uang, setelah itu masyarakat hanya memilih jurusan-jurusan yang saat ini banyak di butuhkan oleh pihak industry. Bedanya hanya pada saat itu yang membutuhkan tenaga murah adalah pemerintah colonial, namun saat ini adalah kaum-kaum pemilik modal. Pendidikan Indonesia saat ini dan pada zaman colonial belanda adalah sama, sama-sama tidak memeberikan hak kepada setiaplapisan masyarakat. Pendidkan hanya bisa di akses oleh kalangan tertemtu saja. Apalagi dengan di sah kan nya RUU-BHP menjadi UU jelas bahwa PTN yang terkemuka akan menjadi sebuah BHMN ( badan hukum milik Negara). Disini dapat kita pertanyakan apakah pendidikan kita akan mampu menghasilkan tenaga ahli yang produktif?, tenaga ahli yang mampu menciptakan alat produksi, bukan tenaga ahli yang hanya bisa mengoperasikan alat produksi.