Jumat, 16 Januari 2009

MERAJUT MEMORI PARA EKSIL

Oleh : Arik

Pada sebuah siang, empat puluh tahun yang lalu, Sugiman --sehari-hari adalah petani-- yang sepulang dari sawah disodori secarik surat oleh istrinya, isi dari surat itu adalah sebuah perintah dari kepolisian Ambarawa untuk menghadap ke kantor. Kemudian ia bersama kedua kawannya yang juga mendapatkan surat serupa segera berangkat ke kantor polisi Ambarawa. Setiba disana sudah berkumpul; banyak orang, segera ia menemui petugas polisi yang ada disitu serta menunjukkan surat perintah yang tempo hari ia dapatkan. Baru setelah itu, Sugiman segera tahu bahwa ia diminta menghadap ke kantor polisi adalah untuk ditahan dengan tuduhan terkait dengan peristiwa 65 di Jakarta.

Mulai hari itu maka Sugiman mengawali hari-hari panjangnya sebagai seorang tahanan politik tentunya dengan meninggalkan seorang istri dan tiga orang anak yang masih kecil, yang tentunya dalam keluarga kecil ini masih membutuhkan sesosok ayah bagi anak-anak dan seorang suami bagi sang istri. Namun perjalanan hidup manusia memang tidak dapat diputar kebelakang, kehidupan manusia dapat berubah secara drastis. Selama masa dalam dalam kamp tahanan, Sugiman melalui beberapa tahap interogasi dengan tuduhan bahwa ia ikut dalam peristiwa pembunuhan para jendral AD di Jakarta pada awal Oktober 1965. Tentunya sebagai petani biasa –juga anggota BTI- di daerah pelosok maka ia berusaha mengelak dari tuduhan tersebut, “opo maneh mateni jendral, wong ndelok pojoke Jakarta wae durung tau.” begitu ujarnya, namun justru jawaban kasar yang ia terima dari interogator.

Petualangan sebagai seorang tahanan politik dimulai dari kamp Beteng Ambarawa, kemudian gedung GRIS Salatiga, kemudian dipindah ke kamp Taman Harapan Salatiga kemudian Nusakambangan dan terakhir di Pulau Buru hingga bebas tahun 1977 (termasuk dalam gelombang I).

Cerita lain adalah dari Suhari yang juga seorang tahan politik tahun 65. Pekerjaan sehari-hari bagi Suhari adalah seorang tukang, pada suatu ketika ia bekerja pada seorang kepala desa dan dari sini kisah pilu itu berawal. Suatu siang ia bersama ketiga temannya yang sedang bekerja dirumah kepala desa itu didatangi polisi, polisi tersebut meminta mereka mencangkul tanah dibelakan rumah tepat dibawah sebuah pohon karena konon –menurut polisi tersebut- bahwa ditempat itu ditanam sebuah tempat buku atau tulisan yang disimpan kepala desa yang terinidasi sebagai PKI itu. Setelah tempat buku yang berbentuk kwali itu dikeluarkan maka mereka segera disuruh membawa kwali itu ke kantior polisi. Mereka kemudian berangkat ke kantor polisi sesampai disana ia didaftar sebagai anggota tahanan –hidup manusia dapat berubah drastis- politik yang tersangkut peristiwa 1965. Kisahnya sebagai tahanan politik terus berjalan hingga tahun 1978 yaitu tahun dimanan ia bebas dari pulau Buru.

*****######*****

Kedua cerita diatas adalah salah satu kisah dari jutaan kisah pilu tahanan politik yang ada di Indonesia yang terkait dengan peristiwa 1965. mereka, belasan tahun menjadi tahana politik, mendapatkan tuduhan yang tidak berdasar, mengalami tekanan fisik dan mental, harus tinggal di satu kamp ke kamp yang lain, harus berpisah dengan sanak saudara, berpisah dengan istri dan anak-anak mereka. Bagaimana mudahnya hidup manusia berubah tanpa tahu kapan perubahan itu datang, entah berubah ke keadaan yang lebih baik atau malah sebaliknya. Bagaimana secara tiba-tiba seorang ayah harus dipisahkan dari anak-anaknya, seorang ibu dipisahkan dari suami dan anak serta bagaimana seorang anak harus berpisah dari orang tuanya.

Setelah empat puluh satu tahun beranjak dari tahun 1965 maka perubahan sudah nampak, “angin demokrasi telah berhembus dengan kencang ke Timur.....”(ujarku dalam hati). Pada masa kini orang sudah diajak untuk berpikir kritis begitu pula tahanan-tahanan politik yang dahulu mulutnya “di-grendhel” oleh aturan-aturan. Jalinan memori yang kusut itu mulai tertata dengan rapi, benang-benang yang berwarna-warni itu telah menjadi sebuah kenampakan harmonis sebagai pertanda perputaran jaman.
Kini, sejarah dengan segala pernik-perniknya harus mampu mendudukkan diri dalam perubahan yang ada di Indonesia khusunya menngenai lembaran samar peristiwa 1965. Sejarah bukan lagi otoritas penguasa tapi history from below mulai menduduki tempat terhormat. NUWUN..GRACIAS..TABIK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar