Kamis, 23 April 2009

Tejakusuma di Bukit Manjeran: Asal-usul Desa Lanjan dan Riwayat Kyai Gusti
Oleh : arik
Budaya tutur merupakan sebuah aktivitas budaya khas dari Nusantara maka tidak heran jika di negeri ini banyak sekali berserak cerita-cerita tutur yang menceritakan segala aspek yang berkembang pada suatu masyarakat. Sebuah cerita tutur biasanya berisi cerita sejarah yang memiliki kandungan yang sarat nilai sosial dan moral. Namun, betapapun banyaknya cerita tutur yang ada di masyarakat dalam suatu masa kedepan pasti akan musnah jika tidak ada pihak yang merasa handarbeni akan tradisi ini, jika seseorang sudah memiliki sikap handarbeni terhadap suatu peninggalan budaya maka secara otomatis akan tergerak hatinya untuk hamemayu budaya yang bersangkutan. Budaya tutur semacam ini perlu dilestarikan antara lain dengan proses penulisan kembali budaya tutur yang berserakan tersebut.
Asal-Usul Dusun Lanjan
Dahulu terdapat pasangan suami istri yang berprofesi sebagai petani berasal dari Desa Candi Garon. Pasangan suami istri ini dikemudian hari akan disebut sebagai Kyai Rusmi dan Nyai Rusmi, ada pula yang memberikan nama Kyai Arum dan Nyai Arum serta ada pula yang memberikan nama Kyai Abdul Madjid dan Nyai Abdul Madjid. Mereka berdua ini berasal dari Dukuh Candi, yang sekarang masuk dalam Desa Candi Garon, dan bekerja menggarap sawah di Dusun Lanjan. Pada awalnya pasangan suami istri petani ini memiliki rumah sekaligus sebagai bobak citak atau pendiri daerah Candi Garon, lalu mereka bermaksud mencari penghidupan lain dengan keluar dari desanya. Perjalanan mereka berdua melaui lembah-lembah yang curam dan keluar masuk hutan yang keliwat gawat ibaratnya janma mara janma mati.
“sudah jauh perjalanan kita, Nyai. Melewati lembah dan menembus hutan yang sangat gawat. Kukira kita cukup sampai disini saja, sebagai rasa syukur kepada Gusti yang telah memberi kita berdua keselamatan hingga saat ini, mari kita membuka lahan ini Nyai.” Ucap Kyai Rusmi kepada istrinya, “kalau begitu, saya menurut saja” begitu jawaban tulus Nyai Rusmi kepada suaminya. Akhirnya, mereka menggarap sebidang tanah di wilayah yang kemudian disebut dengan nama Dusun Lanjan ini.
Setelah membuka sawah, Kyai Rusmi kemudian bermaksud akan mengairinya. Lalu beliau menancapkan sebuah incis atau sejenis tongkat yang berujung besi aji ke tanah kemudian segera dicabut dan serta merta keluarlah air dari bekas tusukan incis tersebut. Kyai Rusmi sangat senang melihat sumber air yang besar itu, maka keluarlah sabda darinya, “kelak sumber air ini akan tetap mengalir apabila anak keturunanku atau masyarakat Lanjan tidak mencuci sarangan dan membuang kotoran di sumber ini, karena kedua hal itu adalah bersifat merusak.” Kyai Rusmi adalah tetua yang sangat memperhatikan kebutuhan anak dan warga sekitar yang kebanyakan adalah petani maka ia membuat tiga sumber air yaitu blumbang Kali Tumpak, blumbang Kali Wetan dan blumbang Kali Beji.
Jarak antara rumah mereka di Desa Candi Garon dengan tempat garapan mereka, yang kelak bernama Dusun Lanjan, cukup jauh sehingga mereka membawa bekal bahan makanan yang masih mentah untuk dibawa ke sawah dan dimasak di tempat yang baru. Lama-kelamaan mereka berpikir untuk mendirikan sebuah gubuk sebagai sarana tempat tinggal mereka. Selain itu mereka juga membawa serta lembu mereka yang biasa digunakan untuk membajak sawah dan dibuatkan kandang di sekitar gubuk tempat tinggal mereka. Sejak saat itu Kyai dan Nyai Rusmi merasa senang tinggal di Dusun Lanjan ini hingga mereka mereka memiliki keturunan disini. Dalam perkembangannya, penduduk Dusun Lanjan bukan saja berasal dari anak keturunan Kyai dan Nyai Rusmi namun sudah banyak sekali pendatang dari luar daerah. Kebanyakan penduduk Lanjan berasal dari wilayah Mataram atau Yogya. Mereka menyingkir ke arah utara karena di wilayah Mataram terjadi situasi yang kurang aman karena merajalelanya gerombolan berandal atau penjahat. Rombongan orang-orang dari Mataram ini kemudian tiba di daerah Lanjan, profesi para pendatang dari selatan ini adalah sebagai bakul gereh atau pedagang ikan asin.