Jumat, 13 Maret 2009

ORDE-ORDE PENINDASAN•
Oleh: Ari

Sebelum masuk dalam tulisan ini saya akan lontarkan pertanyaan, masih adakah martabat bagi pihak yang terjajah? Saya yakin jawaban dari sebagian besar orang pasti akan menjawab: tidak pernah ada!. Tidak pernah ada penjajahan yang sepenuhnya memperhatikan martabat pihak yang terjajah.
Indonesia merupakan salah satu bangsa yang mengalami bentuk penjajahan yang panjang dan eksploitatif, penjajahan yang dilakukan tidak hanya oleh bangsa Eropa (Portugis, Inggris, Belanda-VOC dan pemerintah kerajaan Belanda) tetapi juga oleh sesama bangsa Asia sendiri yaitu bangsa Jepang dengan fasis-militerisnya yang menggurita di wilayah Asia Tenggara. Pasca kemerdekaan, sebenarnya Indonesia pun masih dalam cengkeraman penjajahan namun lebih kasat lagi karena dalam penindasan model baru ini unsur asing menggunakan “agen-agen lokal” mereka. Lebih parah lagi “agen-agen lokal” ini mampu menduduki tampuk-tampuk kekuasaan dalam jangka waktu yang cukup lama.
A. Penindasan masa Kolonial dan Feodalisme
Referensi yang saya gunakan untuk menjelaskan bentuk-bentuk penindasan pada kolonial dan feodal ini adalah film Max Havelaar karena dalam film ini telah tersurat dengan jelas bagaimana penindasan itu beralur secara rapi dari kolonial Belanda yang “meminjam tangan” penguasa setempat untuk melakukan eksploitasi.
Melihat film Max Havelaar maka terbayang mengenai suatu masa pada masa kolonial Belanda yaitu masa Politik Ethis, dimana pada masa ini terjadi “perubahan sikap” dari pemerintah kolonial terhadap penduduk pribumi. Kemunculan politik Ethis didorong oleh beberapa kaum Ethisi yang menghendaki kesejahteraan pribumi, pada pemikiran kaum Ethisi ini tercermin pemikiran-pemikiran humanistis. Ide “balas budi“ ini sebenarnya mulai muncul di Netherland akibat dari perkembangan pemikiran di Eropa Barat. Sistem kepartaian di Netherland pada tahun 1870 menunjukkan komposisi yang sedang berubah untuk menuju dalam iklim demokratisasi yang semakin maju, pada saat ini pula liberalisme yang diusung oleh partai liberal mulai mundur. Pada waktu kemunduraan partai liberalis inilah kemudian partai-partai yang berbasis agama (Partai Roma Katolik, Partai Anti Revolusioner, Partai Kristen Historis) mulai menunjukkan kekuatan politiknya. Tahun 1890-an terbentuk partai baru yaitu Partai Sosialis, mengenai prinsip dasar partai ini dapat disebutkan bahwa tujuan akhir plotik kolonial sehaarusnya meningkatkan kesejahteraan dan perkembangan moral penduduk pribumi, evolusi ekonomi bukannya eksploitasi kolonial melainkan pertanggungjawaban moral. Pada kongres tahun 1901 di Utrech (konvensi Utrech) partai sosialis banyak menuntut perbaikan kolonial.
Kembali pada politik Ethis yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda, sebenarnya kemunculan ide “Hutang Budi’ (istilah yang digunakan Van Deventer-Een Eereschuld) adalah reaksi atas Cultuurstelsel yang dicetuskan oleh Van den Bosch tahun 1830 untuk mengisi kekosongan kas negeri induk akibat pengeluaran untuk menumpas perlawanan pribumi. Culturstelsel yang dicetuskan oleh Van den Bosch sebenarnya merupakan perubahan sistem dari landrent oleh Raffles (Raffles telah melakukan defeodalisasi), oleh Van den Bosch sistem tanam paksa itu akan dikembalikan pada adat pribumi yang sudah ada. Kaum bangsawan feodal mulai “diperalat” oleh pemerintah kolonial untuk menggerakkan rakyat memperbesar produksi. Kekuasaan kaum bangsawan feodal ini diawasi oleh pegawai-pegawai Belanda dan dari hal ini akan tampak sistem pemerintahan tak langsung. yang paling jelas menjadi obyek dalam sistem tanam paksa ini adalah petani tradisional dimana ia selalu menjadi “kuda beban” disatu sisi dan “kambing hitam” disisi yang lain. Beban petani semakin komplek karena mereka harus memikul berbagai macam belasting, kerja wajib, penyerahan wajib dan sumbangan lain yang sangat melumpuhkan ekonomi petani. Cultuurstelsel ini memang memberikan sumbangan yang besar bagi kas negara kerajaan (sumbangan bagi kas kerajaan Belanda menurut isu batig slot atau sistem keuntungan bersih sebesar 825 juta gulden, sebuah angka yang fantastis!) dari kas negara ini maka ekspedisi-ekspedisi militer kedaerah pedalaman (theory of hinterland). Sungguh tragis dengan apa yang dialami bangsa kita pada waktu itu dimana hasil keringat mereka digunakan untuk menumpas gerakan perlawanan dari saudara-saudara mereka di tempat lain.
Seperti yang telah dikemukan didepan bahwa Culturstelsel mendapat tekanan dari kaum Ethisi karena menindas kesejahteraan kaum pribumi dan dengan dalih yang humanistis maka perlahan sistem ini dihapus (dimulai dengan lada tahun 1860, nila tahun 1865) , dengan dihapusnya sistem tanam paksa ini maka mulai muncul kelompok kapitalis liberal.
Politik Ethis mengusung tiga sila yaitu “irigasi, edukasi dan emigrasi”, apabila dilihat dari dasar pemikiran kaum Ethisi bahwa mereka menghendaki kesejahteraan penduduk pribumi dan kepentingan pribumi, hal ini tentulah sedikit melegakan. Namun kelegaan itu hanya sekejap saja karena pada dasarnya sistem hanya mengganti “nama” sedangkan kepentingan kolonial atau negeri induk tetap diutamakan, sebagaimana seperti yang dikatakan oleh salah seorang petinggi kolonial bahwa negeri jajahan ibarat gabus yang menjadi tempat mengapung negeri induk. Pelaksanaan tiga sila politik Ethis itu sendiri dalam prakteknya mengalami penyelewengan dan itu semua hanya ditujukan dalam kepentingan kolonialis. Irigasi yang seharusnya didistribusikan kepada perkebunan rakyat dan pemerintah pada prakteknya lebih diutamakan pada onderneming-onderneming pemerintah. Pabrik dan kantor dagang yang bermunculan membutuhkan pegawai baru yang profesional maka pemilik dari kantor dagang mendidik warga pribumi untuk menjadi pegawai mereka dengan gaji yang rendah. Emigrasi yang menghendaki pemerataan penduduk ternyata hanya digunakan oleh kolonialis untuk membuka daerah baru tentunya dengan segala paksaan dan ketidakmanusiawian yang lain.
Berbagai ketidakadilan yang menimpa petani bumiputera di-“potret’ dalam bentuk tulisan oleh seorang jurnalis pribumi bernama Mas Marco Kartodikromo dalam Sinar Djawa, dimana ia menulis bahwa para petani yang lahannya disewa oleh pemilik pabrik gula merasa tidak mendapatkan ganti rugi yang cukup, lahan petani itu hanya diberi harga f,66,-perbahu untuk 18 bulan.
Penjajahan bagaimanapun bentuknya tidak pernah sepenuhnya memperhatikan negeri perahannya walaupun dibalut dengan berbagai macam slogan yang manis namun tetap saja kepentingan kolonialis tetap diutamakan. Imbas dari kolonialis adalah adalah masyarakat bawah yang tidak mempunyai kekuatan dan selalu menjadi “kuda beban” bagi golongan diatasnya. Sekali lagi bahwa penjajahan dalam bentuk apapun tidak dapat diterima bahkan harus dilawan dan tidak pernah penjajahan itu memberi keuntungan bagi bangsa yang ditindas kalaupun ada, itu pun adalah hasil proses pemikiran dari local genius.
B. Penindasan masa Post Kolonialisme Asing
Sejak Proklamator Indonesia membacakan naskah proklamasi di Pegangasaan Timur 56 Jakarta seharusnya kita sudah MERDEKA sepenuhnya. Tidak ada lagi penindasan dan penghisapan, seharusnya bangsa kita sudah berproses untuk melaksanakan amanat Proklamasi yang agung itu yaitu kesejahteraan rakyat Indonesia sepenuhnya tanpa kecuali. Namun malang tidak dapat dielakkan karena keuatan asing masih belum rela “melepas” Indonesia maka mereka menggunakan metode yang pernah mereka lakukan sebelumnya yaitu menggunakan “agen-agen lokal” untuk melaksanakan keinginan mereka.
Pada bagian ini saya akan langsung meloncat ke era Orde Baru karena pertimbangan saya pada era Orde Lama -yang identik dengan Soekarno- model penghisapan baru ini belum parah karena perimbangan kekuatan politik saat itu yaitu PKI-Soekarno-Militer. Ketiga unsur ini mendominasi pada era Orde Lama. Penjelasan singkat adalah sebagai berikut:
• PKI.
Partai Komunis Indonesia mampu mendudukkan diri sebagai salah satu The Big Five Party pada Pemilu 1955. Pada tingkatan akar rumput program-program partai ini cukup “menyentuh” kepentingan rakyat kebanyakan pada saat itu. PKI juga memiliki organisasi-organisasi onderbouw berdasarkan profesi masing-masing anggota. Misalnya: Barisan Tani Indonesia (petani), Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (buruh), Himpunan Sarjana Indonesia (sarjana), Persatuan Pamong Desa Indonesia (pejabat desa), Lembaga Kebudayaan Rakyat (seniman) dll. Sebagai sebuah partai yang revolusioner dan anti imperialis maka partai ini menolak segala penindasan yang dilakukan kekuatan asing atau pejabat lokal maka tidak heran bahwa partai ini akan menemui “ajal”pada akhir 1965 karena sikap kritis mereka.

• Soekarno
Soekarno adalah figur sentral pada kurun waktu 1950-akhir 1965 karena pada kurun waktu ini bahasa politik Soekarno lebih vulgar. Ia adalah sosok teaterawan yang memiliki naskah besar dalam panggung Indonesia. Ia ingin membuat “negara teater baru” di luar teater global pada saat itu maka pada kurun waktu inilah Indonesia memilih hengkang dari PBB karena Soekarno ingin membentuk New Forces. Soekarno memposisikan dirinya sebagai penyeimbang kekuatan militer dan PKI
• Militer
Militer merupakan salah satu kekuatan penentu pada era Orde Lama dan lewat kekuatan inilah Orede Baru dibangun setelah kejatuhan Soekarno dan matinya Komunis. Militer diindikasi oleh beberapa pihak sebagai agen lokal dari kepentingan asing dan hal ini akan lebih terlihat jelas pada penjelasan selanjutnya.
Sekilas penjelasan diatas adalah sebagai pengantar sebelum masuk pada masa Orde Baru yang berkuasa selama lebih dari tiga dekade. Naiknya orde baru ke tampuk kekuasaan –dengan Soeharto sebagai ikon- harus dilakukan dengan berdarah-darah yaitu darah dan bangkai dari simpatisan Partai Komunis Indonesia serta tujuh perwira AD yang soekarnois. Soeharto sebagai penguasa baru mulai membuat jaringan dengan beberapa agen pemodal baik dari dalam maupun luar negeri. Usaha untuk mengamankan kekuasaan segera ia terapkan maka dimulailah pemberian “hadiah-hadiah politik” kepada segenap jendral dan beberapa eksponen angkatan ’66 yang “murtad” secara ideologi. Hadiah politik itu dapat berupa pangkat dan jabatan dalam lingkup kekuasaan atau kemudahan akses bisnis. Selama kurun waktu tiga puluh tahun itu terjadi ekspliotasi besar-besaran yang dilakukan oleh dinasti bisnis keluarga Soeharto dan koleganya, getah dari buah yang mereka makan akhirnya harus kita terima.
Penghisapan dan penindasan dalam berbagai aspek mulai ekonomi, politik, sosial dan budaya serta ideologi dilakukan oleh Orde Baru dibawah Soeharto secara sistematis. Hal yang telah berlangsung lama itu semakin memuncakkan keresahan dalam kalangan grass root dan kalangan intelektual. Puncak dari keresahan sosial itu akhirnya meletus dengan huru-hara dan proses turun tahta dari Soeharto yang telah berkuasa selama tiga puluh dua tahun.
Saat ini Indonesia telah memasuki masa transisi untuk menuju pada keadaan yang lebih baik namun setelah sewindu reformasi bergulir bukan kebaikan yang kita peroleh justru berbagai kesulitan baik dari faktor yang diakibatkan oleh manusia atau oleh alam. Indonesia pada saat ini sedang berada pada titik terendah karena kesalahan sistem penyelenggaraan negara yang telah berlangsung sedemikian lama dan seakan-akan kesalahan ini telah mem-“budaya”.
Perlukah Sebuah Revolusi?
Tuntutan dari kaum pekerja akan suatu masyarakat tanpa kelas bermula atau muncul pertama kali dari rasa benci mereka terhadap kelas-kelas bermilik atau golongan pemilik modal (kapitalis) dan pemilik alat produksi, pihak yang menampilkan tuntutan-tuntutan ini adalah para elite diantara kaum pekerjanya bukan orang-orang bawahannya (lumpenproletariat). Apabila “kebebasan” (liberty) menjadi slogan sentral dari revolusi borjuis maka “kesamaan” (equality) adalah konsep sentral dalam setiap gerakan kaum pekerja atau buruh.
Kaum pekerja merasakan sebuah ketidakmerataan (inequality) dalam semua bidang, seperti bidang pendidikan dimana setiap orang berhak untuk mendapatkan pengajaran dan ilmu pengetahuan yang sama namun setiap anak dari seorang pekerja miskin harus rela menahan “haus akan ilmu” karena pada orde globalisasi hanya orang-orang yang memiliki cukup uang untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan dijadikan sebagai lahan mencari uang bagi para oknum pendidik dengan dalih menaikkan mutu sekolah atau universitas mereka membuat kebijakan penaikan biaya pendidikan, dengan dalih kemandirian sebagai sebuah badan usaha maka pemerintah memotong subsidi pendidikan. Ketidakmerataan bidang ekonomi seperti kemudahan pemberian pinjaman usaha bagi industri-industri besar hanya karena koneksi keluarga atau teman dekat namun pemberian pinjaman usaha bagi industri-industri kecil begitu berbelit-belit karena para kreditur kurang percaya terhadap kemampuan industri kecil tersebut. Nikmatnya “kue pembangunan” yang seharusnya dapat dinikmati oleh segala lapisan masyarakat tanpa terkecuali ternyata hanya dinikmati oleh segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan.
Ketidakmerataan-ketidakmerataan seperti diatas akan membawa keadaan instabilitas, penuh kecurigaan, sehingga hal tersebut mendorong beberapa pihak untuk bergerak menuju suatu perubahan menyeluruh, perubahan yang fundamental mencakup segala struktur dan elemen negara, lembaga dan kepemimpinan nasional.
Perubahan tersebut akan membawa pada sebuah pembaharuan, entah dilakukan secara cepat dan drastis ataupun akan dilakukan secara bertahap. Tindakan pembaharuan ini akan menimbulkan gejolak tersendiri dalam masyarakat karena masyarakat itu sendiri akan terbelah menjadi dua yaitu masyarakat revolusioner pendukung perubahan dan masyarakat yang mendukung keadaan seperti semula.
Perubahan secara cepat sering diistilahkan dengan nama revolusi namun pengertian dari revolusi itu sendiri berbeda-beda dan banyak sekali isi yang diberikan pada term revolusi.
Tindakan-tindakan yang dapat dikatakan mirip dengan revolusi misalnya pembangkangan, kudeta, perang perjuangan, pemberontakan maka dari itu perlu diberikan sebuah batasan mengenai revolusi itu sendiri untuk membedakan dengan tindakan-tindakan seperti diatas. Revolusi dapat dikatakan sebagai perubahan dari dalam yang agak sekonyong-konyong dengan cara-cara kekerasan dan fundamental mengenai struktur sosio-politik, lembaga sosio-politik, dan kepemimpinan politik dalam masyarakat yang disertai juga perubahan fundamental mengenai ideologi politik, nilai-nilai serta norma-norma.
Dalam catatan sejarah mengenai beberapa peristiwa revolusi maka para ahli mengelompokkan revolusi itu dalam beberapa tipe. Revolusi itu sendiri memiliki beberapa tipe, antara lain:
• Jacquerie yaitu pemberontakan massa petani (peasants) yang spontan dan biasanya dilakukan atas nama penguasa tradisional. Tujuan dari revolusi ini terbatas yaitu untuk mengusir elite lokal atau elite nasional yang dianggap menyebabkan keadaan menjadi buruk, meskipun demikian revolusi ini dapat membawa perubahan sungguh-sungguh dalam struktur dan pada elite politik.
• Imam Mahdi atau Ratu Adil (millenarian rebellion) biasanya terdapat pada bangsa-bangsa “primitif”, mengandung aspek-aspek religius yang kuat. Seorang Nabi (Ratu Adil) membawa ajaran tentang dunia yang akan datang dan cara-cara untuk menuju kesana yang hal ini mengandung ciri-ciri yang bersifat melampaui kodrat dan tidak realistik. Hal ini juga berhubungan dengan pandangan dunia dan alam kepercayaan rakyat yang bersangkutan. Kesejahteraan yang diramalkan dapat berarti kembalinya jaman keemasan yang telah lampau atau tercipta jaman keemasan yang baru.
• Pemberontakan Anarkis dicirikan sebagai suatu gerakan yang timbul sebagai suatu keinginan untuk kembali ke jaman yang telah silam yang penuh romantik sebagai sebuah reaksi terhadap modernisasi.
• Revolusi Jacobin-komunis yaitu suatu perubahan fundamental yang hebat mengenai organisasi politik, struktur sosial, pengaturan hak milik ekonomi dan didominir oleh mitos orde sosial. Tipe seperti ini hanya dapat terjadi di negara sentralisasi kuat dan komunikasi yang baik sehingga pada akhirnya akan lahir sebuah orde sosial dan orde birokrasi yang lebih rasional. Tipe seperti ini terjadi pada Revolusi Perancis dan Revolusi Rusia.
• Perebutan kekuasaan oleh sekelompok orang yang telah bersepakat dan mereka dijiwai oleh ideologi oligarki mengenai sektor tertentu saja. Tipe ini hanya dapat disebut revolusi apabila kenyataannya mendahului gerakan massa dan membawa perubahan sosial. Seperti yang dilakukan G.A. Nasser di Mesir dan Fidel Castro di Kuba.
• Pemberontakan massa secara militer, berkembang di-abad 20, dimana perencana dan pemimpin dari revolusi ini adalah elite yang nekad. Gerakan ini dimulai dengan melakukan perang gerilya yang didukung oleh penduduk. Ini seperti yang terjadi di China dan Yugoslavia.
Tipe-tipe seperti diatas adalah sebagian kecil dari revolusi-revolusi yang pernah tercatat dalam sejarah walaupun tidak tertutup kemungkinan akan ada tipe-tipe revolusi yang lain yang terjadi.
Sebuah revolusi atau sebuah perubahan untuk tujuan pembaharuan yang terjadi dalam suatu negara pasti memiliki sebab-sebab mengapa revolusi itu sampai terjadi. Menurut Huntington, timbulnya revolusi pada negara berkembang tergantung pada:
a. Sejauh mana kelas menengah di kota seperti -kaum intelektual, golongan profesi, golongan borjuis- terasing dari orde yang ada.
b. Sejauh mana kaum tani terasing dari orde yang ada.
c. Sejauh mana golongan menengah kota dan kaum tani dapat bersatu yang tak hanya melawan musuh yang sama (common enemy) melainkan juga tujuan serta cita-cita yang sama.
Revolusi dalam negara berkembang hanya dapat terjadi apabila jarak sosial yang ada antara kaum menengah kota yang revolusioner dan kaum tani yang sama-sama revolusioner dapat dijembatani dan dapat ditemukan motivasi yang sama berdasarkan kesamaan tujuan.
Pelaku-pelaku dari sebuah gerakan revolusi dapat dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu:
1. kaum reformis dan realistis. Kaum ini berpendapat bahwa walaupun revolusi adalah perubahan secara cepat dan mendasar namun tetap dalam kendali akal sehat dan kepala dingin sehingga gerakan ini tetap bersifat konstruktif (dalam revolusi ini sendiri masih ada tempat untuk hukum, tata tertib serta diplomasi).
2. kaum ultra radikal. Kaum ini berpendapat bahwa revolusi benar-benar bersifat revolusioner apabila ia merupakan sebuah usaha penjungkirbalikan dan pendobrakan semua nilai-nilai lama hingga ke akar-akarnya dan diatas puing-puing itu didirikan sebuah “bangunan” yang sama sekali baru.

Sebuah Pertimbangan
Banyak pihak harus berpikir berulang kali untuk melakukan sebuah revolusi karena sebuah revolusi memerlukan banyak sekali pengorbanan tidak hanya hanya harta ataupun nyawa, maka untuk itu diperlukan perencanaan yang matang, pelaksanaan yang efektif tanpa banyak memakan korban. Apabila sebuah revolusi mengalami kegagalan maka tak terbayangkan berapa banyak korban yang jatuh dan sia-sia.
Revolusi akan diawali dengan sebuah krisis dalam masyarakat karena akan terdapat gesekan-gesekan dalam masyarakat yang revolusioner dan yang anti revolusi, untuk itu diperlukan sebuah persatuan nasional meliputi penyeragaman tujuan dan cita-cita dan hal itu dapat terwujud apabila telah mulai timbul kondisi kedaruratan nasional. Pada saat itu setiap orang akan sadar bahwa memang perlu ada perubahan menuju pada kondisi yang lebih baik dan pembaharuan yang tanpa memerlukan jatuh korban. Perlu juga dipikirkan apabila revolusi itu berhasil bagaimana tahap selanjutnya, bagaimana menjaga semangat revolusioner agar tidak luntur serta benarkah setelah revolusi kondisi akan semakin baik dari semula.
Suasana globalisasi yang melanda dunia, dimana pada abad ini dapat disebut sebagai abad kemenangan kapitalisme maka kita mau tidak mau harus ikut bermain didalamnya tetapi dalam “lingkaran globalisasi” semacam itu kita tidak boleh terlalu larut didalamnya, sebagai sebuah bangsa (makro) yang berdaulat dan sebagai seorang manusia (mikro) kita harus tetap dapat menunjukkan jatidiri kita sebenarnya sebagai sebuah bangsa atau seorang insan Indonesia yang memiliki kepribadian kerakyatan dan kegotong-royongan. Di setiap tempat terjadi ketidakmerataan (inequality), dimana-mana timbul keresahan sosial, dimana-mana timbul kecemburuan sosial karena dalamnya perbedaan antara “golongan berpunya” (the Have) dan “golongan tidak berpunya”. Pada saat itu rakyat akan bangkit mendobrak dinding globalisasi yang identik dengan ketidakadilan, penuh dengan kecurangan, entah itu dengan kekerasan revolusi ataupun dengan pembaharuan yang damai (peacefull reform) dan hal itu dilakukan dengan sebuah tujuan yaitu keadilan, kesejahteraan, pemerataan (equality). Berbagai peristiwa revolusi telah tercatat dalam tinta emas ataupun tinta hitam dan tidak ada salahnya kita sebagai manusia berakal berusaha untuk mengerti terlebih dahulu tentang sejarah revolusi atau pembaharuan yang telah ada sebagai pertimbangan kita terhadap tindakan apa yang akan kita lakukan dikemudian hari. Didalam sejarah, kita akan belajar menghadapi kenyataan yang kurang menyenangkan dan tidak pasti. Dan sejarah juga bermaksud mengantarkan manusia pada kejujuran dan kebijaksanaan karena sejarah sendiri menghendaki gerak progresif ke depan dengan masa lampau sebagai “kaca”. Selayaknya perlu dipertimbangkan kembali mengenai sebuah revolusi ataupun pembaharuan mengingat akibat-akibat yang akan timbul dikemudian hari. Namun itu semua akan kembali pada kita apakah akan menuju perubahan dengan kekerasan atau kedamaian?. Silahkan pilih!!!
“dan lumpur yang mereka pakai untuk perekat batubata”(Genesis II)
$$$$$$$\\\\\\$$$$$$$



DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Aidit, D.N. Tentang Marx. Jakarta: Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, 1964.

Blowers, Andrew dan Graham Thompson. Ketidakmerataan, Konflik dan Perubahan.
terj; Paul Sitohang. Jakarta: UI Press, 1983.

J.Th Lindblad (eds). Fondasi Historis Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Panitia Konferensi Internasional. Denyut Nadi Revolusi Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1997

Schoorl, J.W. MODERNISASI Pengantar Sosiologi Perubahan Negara-Negara Sedang Berkembang. Terj; R.G Soekadidjo. Jakarta: Gramedia, 1982.

Suhartono. Serpihan Budaya Feodal. Yogyakarta: Agastya Media, 2001.

Van der Meulen, W.J. Ilmu Sejarah dan Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1987.



ARTIKEL

Sinar Djawa, 26 Maret 1918. Marco Kartodikromo, “Apakah Pabrik Gula Itu Racun Buat Bangsa Kita?”.