Selasa, 17 Februari 2009

DIBAWAH PENINDASAN

oleh: Arik
Sebelum masuk dalam tulisan ini saya akan lontarkan pertanyaan, masih adakah martabat bagi bangsa yang terjajah? Saya yakin jawaban dari sebagian besar orang pasti akan menjawab: tidak pernah ada!. Tidak pernah ada penjajahan yang sepenuhnya memperhatikan martabat negara yang menjadi negara jajahannya.
Indonesia merupakan salah satu bangsa yang mengalami bentuk penjajahan yang panjang dan eksploitatif, penjajahan yang dilakukan tidak hanya oleh bangsa Eropa (Portugis, Inggris, Belanda-VOC dan pemerintah kerajaan Belanda) tetapi juga oleh sesama bangsa Asia sendiri yaitu bangsa Jepang dengan fasis-militerisnya yang menggurita di wilayah Asia Tenggara.
Melihat film Max Havelaar maka terbayang mengenai suatu masa pada masa kolonial Belanda yaitu masa Politik Ethis, dimana pada masa ini terjadi “perubahan sikap” dari pemerintah kolonial terhadap penduduk pribumi. Kemunculan politik Ethis didorong oleh beberapa kaum Ethisi yang menghendaki kesejahteraan pribumi, pada pemikiran kaum Ethisi ini tercermin pemikiran-pemikiran humanistis. Ide “balas budi“ ini sebenarnya mulai muncul di Netherland akibat dari perkembangan pemikiran di Eropa Barat. Sistem kepartaian di Netherland pada tahun 1870 menunjukkan komposisi yang sedang berubah untuk menuju dalam iklim demokratisasi yang semakin maju, pada saat ini pula liberalisme yang diusung oleh partai liberal mulai mundur. Pada waktu kemunduraan partai liberalis inilah kemudian partai-partai yang berbasis agama (partai roma katolik, partai anti revolusioner, partai kristen historis) mulai menunjukkan kekuatan politiknya.1 Tahun 1890-an terbentuk parrtai baru yaitu partai sosialis, mengenai prinsip dasar partai ini dapat disebutkan bahwa tujuan akhir politik kolonial seharusnya meningkatkan kesejahteraan dan perkembangan moral penduduk pribumi, evolusi ekonomi bukannya eksploitasi kolonial melainkan pertanggungjawaban moral. Pada kongres tahun 1901 di Utrech (konvensi Utrech) partai sosialis banyak menuntut perbaikan kolonial.
Kembali pada politik Ethis yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda, sebenarnya kemunculan ide “hutang budi’ (istilah yang digunakan Van Deventer-Een Eereschuld) adalah reaksi atas Cultuurstelsel yang dicetuskan oleh Van den Bosch tahun 1830 untuk mengisi kekosongan kas negeri induk akibat pengeluaran untuk menumpas perlawanan pribumi.2 Culturstelsel yang dicetuskan oleh Van den Bosch sebenarnya merupakan perubahan sistem dari landrent oleh Raffles (Raffles telah melakukan defeodalisasi), oleh Van den Bosch sistem tanam paksa itu akan dikembalikan pada adat pribumi yang sudah ada.3 Kaum bangsawn feodal mulai “diperalat” oleh pemerintah kolonial untuk menggerakkan rakyat memperbesar produksi. Kekuasaan kaum bangsawan feodal ini diawasi oleh pegawai-pegawai Belanda dan dari hal ini akan tampak sistem pemerintahan tak langsung. 4 yang paling jelas menjadi obyek dalam sistem tanam paksa ini adalah petani tradisional dimana ia selalu menjadi “kuda beban” disatu sisi dan “kambing hitam” disisi yang lain.5 Beban petani semakin komplek karena mereka harus memikul berbagai macam belasting, kerja wajib, penyerahan wajib dan sumbangan lain yang sangat melumpuhkan ekonomi petani. Cultuurstelsel ini memang memberikan sumbangan yang besar bagi kas negara kerajaan (sumbangan bagi kas kerajaan Belanda menurut isu batig slot atau sistem keuntungan bersih sebesar 825 juta gulden, sebuah angka yang fantastis!) dari kas negara ini maka ekspedisi-ekspedisi militer kedaerah pedalaman (theory of hinterland). Sungguh tragis dengan apa yang dialami bangsa kita pada waktu itu dimana hasil keringat mereka digunakan untuk menumpas gerakan perlawanan dari saudara-saudara mereka di tempat lain.
Seperti yang telah dikemukan didepan bahwa Culturstelsel mendapat tekanan dari kaum Ethisi karena menindas kesejahteraan kaum pribumi dan dengan dalih yang humanistis maka perlahan sistem ini dihapus (dimulai dengan lada tahun 1860, nila tahun 1865)6, dengan dihapusnya sistem tanam paksa ini maka mulai muncul kelompok kapitalis liberal.
Politik Ethis mengusung tiga sila yaitu “irigasi, edukasi dan emigrasi”, apabila dilihat dari dasar pemikiran kaum Ethisi bahwa mereka menghendaki kesejahteraan penduduk pribumi dan kepentingan pribumi, hal ini tentulah sedikit melegakan. Namun kelegaan itu hanya sekejap saja karena pada dasarnya sistem hanya mengganti “nama” sedangkan kepentingan kolonial atau negeri induk tetap diutamakan, sebagaimana seperti yang dikatakan oleh salah seorang petinggi kolonial bahwa negeri jajahan ibarat gabus yang menjadi tempat mengapung negeri induk. Pelaksanaan tiga sila politik Ethis itu sendiri dalam prakteknya mengalami penyelewengan dan itu semua hanya ditujukan dalam kepentingan kolonialis. Irigasi yang seharusnya didistribusikan kepada perkebunan rakyat dan pemerintah pada prakteknya lebih diutamakan pada onderneming-onderneming pemerintah. Pabrik dan kantor dagang yang bermunculan membutuhkan pegawai baru yang profesional maka pemilik dari kantor dagang mendidik warga pribumi untuk menjadi pegawai mereka dengan gaji yang rendah. Emigrasi yang menghendaki pemerataan penduduk ternyata hanya digunakan oleh kolonialis untuk membuka daerah baru tentunya dengan segala paksaan dan ketidakmanusiawian yang lain.
Berbagai ketidakadilan yang menimpa petani bumiputera di-“potret’ dalam bentuk tulisan oleh seorang jurnalis pribumi bernama Mas Marco Kartodikromo dalam Sinar Djawa, dimana ia menulis bahwa para petani yang lahannya disewa oleh pemilik pabrik gula merasa tidak mendapatkan ganti rugi yang cukup, lahan petani itu hanya diberi harga f,66,-perbahu untuk 18 bulan.7
Penjajahan bagaimanapun bentuknya tidak pernah sepenuhnya memperhatikan negeri perahannya walaupun dibalut dengan berbagai macam slogan yang manis namun tetap saja kepentingan kolonialis tetap diutamakan. Imbas dari kolonialis adalah adalah masyarakat bawah yang tidak mempunyai kekuatan dan selalu menjadi “kuda beban” bagi golongan diatasnya. Sekali lagi bahwa penjajahan dalam bentuk apapun tidak dapat diterima bahkan harus dilawan dan tidak pernah penjajahan itu memberi keuntungan bagi bangsa yang ditindas kalaupun ada, itu pun adalah hasil proses pemikiran dari local genius. Sebagai penutup maka saya akan lontarkan kembali pertanyaan pakah kita pernah belajar dari sejarah? Sayang sekali, tidak pernah, karena kalau kita mau belajar dari sejarah maka hidup kita akan sejahtera tidak seperti sekarang ini bukan?.
***********
makalah ini disajikan dalam diskusi film Max Havelaar. Bertepatan pada acara peringatan 39 tahun wafatnya Pater Driyarkara, SJ di wisma mahasiswa Driyarkara tanggal 2 Maret 2006

koordinator Forum Komunikasi Sejarah (FOKUS)
1)Partai agama ini menekankan bahwa Hindia Belanda harus dibuka untuk misi keagamaan, meskipun begitu ternyata mereka juga ditunggangi oleh kaumapitalis. Slogan yang mereka pakai adalah perlindungan hak kaum pribumi. Pada waktu ini terihat suatu gerakan penyebaran agama dan misi pengadaban (civilizing mission). Sartono Kartodirdjo. Nasionalisme dan kolonialisme di Indonesia pada abad XIX dan abad XX. Lembaran Sedjarah. No: 8 Juni 1972.
2)Sebut saja Perang Jawa 1824-1830, Perang Padri 1831-1839, Perang Aceh 1874-1904
3)Menurut Raffles tidak ada pemilikan tanah individual dan semua tanah adalah milik negara, Van den Bosch melakukan modifikasi bahwa tanah itu dikembalikan pada rakyat bumiputera namun pengembalian itu disertai beban yakni petani yang mendapat atau menguasai tanah wajib menanami tanah dengan tanamn produksi yang laku dipasaran dunia atau kewajiban kerja di onderneming pemerintah.
4)Para bangsawan feodal mendapat gaji berupa tanah maka mereka ituu seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Maka tak heran bahwa ada ungkapan Jawa yang berbunyi; “aksara jawa nek dipangku, mati”, ungkapan ini menggambarkanbangsawan feodal jawa bahwa mereka telah dibutakan oleh hadiah dari kolonialis Belanda sehingga mereka hanya mampu berangguk-angguk.
5)Suhartono, “Kuda Beban “ dan “Kambing Hitam”: Potret Petani. Dalam Suhartono. Serpihan Budaya Feodal. Yogyakarta: Agastya media, 2001. hal 108
6)A.M. Djuliati Suroyo. Penanaman Negara di Jawa dan Negara Kolonial. Dalam J.Th Lindblad (eds). Fondasi Historis Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. hal 116-128
7)Marco Kartodikromo, “Apakah Pabrik Gula Itu Racun Buat Bangsa Kita?”. Sinar Djawa, 26 Maret 1918